Nama Mbah Parni telah viral sejak lama lantaran penjelasan usia tersebut.
Wajah, rambut putih, suara lantang, artikulasi Jawanya yang masih jelas, dan tubuhnya yang masih kokoh bekerja maupun berjalan walau bungkuk.
Ditambah pula cerita hidup di masa silam dan wejangannya yang tidak pernah ketinggalan. Semua itu muncul di berbagai platform media, terutama video.
Suparni hidup mandiri di rumah empat meter persegi berdinding asbes atap genting. Di dalamnya hanya ada dipan kasur dan lemari.
Dapur kayu bakar berada di sela dinding bagian belakang tempat tinggalnya.
Ia suka tinggal di situ meski anaknya menyediakan tempat di rumah mereka di sebelahnya.
Mbah Parni suka bercerita bagaimana ia melewati hidup di era pendudukan Belanda hingga Jepang di Indonesia.
“Saya menolak (ditawari jadi guru) karena ilmu saya hanya berdagang,” kata Suparni, selalu dalam bahasa Jawa.
Masa lalunya penuh kerja keras demi dua anak dari pernikahannya dengan Karto Pawiro alias Rabin.
Ia bekerja untuk membesarkan sendiri kedua anaknya sejak ditinggal pergi Rabin ke Metro di Pulau Sumatera pada 1965.
Ia pernah jualan jamu, baju bekas, hingga bikin tali tampar dari bahan serat pandan.
Kini lebih memilih tinggal di rumah saja. Ia tidak kawatir kekurangan.
Baca juga: 1 Suro, Jadi Saat Memandikan Kitab Daun Lontar Kalimasada di Perkampungan Kecil Kulon Progo
Makan apa adanya, sudah tidak memimpikan makanan mewah yang pernah dinikmati pada masa muda. Apalagi, dalam sehari, palingan hanya makan satu kali.
“Sing penting ngombe wedang, nginang, ora kurang. Pun matur nuwun (yang penting minum hangat, menginang, tidak kurang. Sudah terima kasih),” kata dia, sambil mengacungkan jempol.
Tapi, bagi mereka yang masih muda, tentu harus bekerja keras dan pantang menyerah.
Karena, di masa silam, ia telah melewati suka duka-susah senang hingga kini.
“Cari makan itu pergi ke Timur, kalau tidak dapat pergi ke Barat, tidak dapat pergi ke Utara. Harus seperti itu,” kata dia.