Salin Artikel

Mengaku Usia 136 Tahun, Nama Mbah Parni Viral karena Wejangan "Jadilah Orang Sabar, Jangan Emosian"

KULON PROGO, KOMPAS.com – Suparni yang sudah berusia lanjut hidup mandiri di tepi jalan Pengasih–Nanggulan pada Pedukuhan Sadang, Kalurahan Tanjungharjo, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Dalam usia lebih seabad, Mbah Parni–nama panggilannya, semakin terkenal dan namanya viral di media sosial dan elektronik.

Terlebih lagi karena dalam setiap perbincangan ia selalu menyelipkan wejangan agar orang itu tidak mudah emosi, panjang sabar, dan tidak perlu berpikir ribet. 

Itu pula resep yang membuat umur bisa panjang. 

“Sing sabar sing temen. Kalih uwong ampun pekok, wong pekok mboten ilok. Mikul mboten pening-pening. Yen nalar, mboten semeleh. Dolan namun konco tukar tampur (yang sabar sungguh-sunggguh. Orang jangan jadi mudah emosi, orang emosi tidak baik. Kalau mengalami kesulitan, jangan berpikir ribet. Berpikir lurus saja. Santai saja. Kalau stres melanda, mainlah dan cari hiburan),” kata Mbah Parni, di rumahnya, pada Rabu (26/7/2023).

Suparni kelahiran Tlogoguwo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Ia pindah ke Tanjungharjo pada 1945.

Menurut pengakuannya, ia sudah berusia 136 tahun. Generasi sebelumnya, kata Suparni, juga berumur panjang, seperti kakeknya yang konon berusia lebih dari 160 tahun, bapaknya 126 tahun.

Angka itu memang klaim yang perlu pembuktian. 

Tidak ada administrasi kependudukan masa lalu, Mbah Parni hanya mengandalkan ingatan pada usia diri sendiri.

Namun, bila mengacu KTP pada masa kini, lansia ini tercatat kelahiran 1927, artinya berusia 96 tahun.

Nama Mbah Parni telah viral sejak lama lantaran penjelasan usia tersebut.

Wajah, rambut putih, suara lantang, artikulasi Jawanya yang masih jelas, dan tubuhnya yang masih kokoh bekerja maupun berjalan walau bungkuk.

Ditambah pula cerita hidup di masa silam dan wejangannya yang tidak pernah ketinggalan. Semua itu muncul di berbagai platform media, terutama video. 

Suparni hidup mandiri di rumah empat meter persegi berdinding asbes atap genting. Di dalamnya hanya ada dipan kasur dan lemari.

Dapur kayu bakar berada di sela dinding bagian belakang tempat tinggalnya.

Ia suka tinggal di situ meski anaknya menyediakan tempat di rumah mereka di sebelahnya. 

Mbah Parni suka bercerita bagaimana ia melewati hidup di era pendudukan Belanda hingga Jepang di Indonesia. 

“Saya menolak (ditawari jadi guru) karena ilmu saya hanya berdagang,” kata Suparni, selalu dalam bahasa Jawa. 

Masa lalunya penuh kerja keras demi dua anak dari pernikahannya dengan Karto Pawiro alias Rabin.

Ia bekerja untuk membesarkan sendiri kedua anaknya sejak ditinggal pergi Rabin ke Metro di Pulau Sumatera pada 1965.

Ia pernah jualan jamu, baju bekas, hingga bikin tali tampar dari bahan serat pandan. 

Kini lebih memilih tinggal di rumah saja. Ia tidak kawatir kekurangan.

Makan apa adanya, sudah tidak memimpikan makanan mewah yang pernah dinikmati pada masa muda. Apalagi, dalam sehari, palingan hanya makan satu kali. 

“Sing penting ngombe wedang, nginang, ora kurang. Pun matur nuwun (yang penting minum hangat, menginang, tidak kurang. Sudah terima kasih),” kata dia, sambil mengacungkan jempol.

Tapi, bagi mereka yang masih muda, tentu harus bekerja keras dan pantang menyerah.

Karena, di masa silam, ia telah melewati suka duka-susah senang hingga kini. 

“Cari makan itu pergi ke Timur, kalau tidak dapat pergi ke Barat, tidak dapat pergi ke Utara. Harus seperti itu,” kata dia.


Saling menjaga

Kini, Mbah Parni dikaruniai delapan cucu. Bahkan, dua cucunya yang paling tua bekerja di luar negeri.

“Saya baru pulang dari New Zealand. Saya bekerja di hotel di sana. Istri ikut. Kami baru pulang ke sini,” kata Susilo (44), salah satu cucunya.

Tukiyem (69) anak pertama Parni. Ia menceritakan, ibu dan anak saling menjaga setelah ditinggal kawin lagi sang ayah.

Ia mengerti betapa sulit hidup tanpa ayah, apalagi Tukiyem masih 10 tahun ketika itu. 

Karenanya, Tukiyem menikah di umur 12 tahun, namun buyar dua tahun kemudian. 

Tukiyem belajar banyak tentang jamu di kawasan Pakualaman, berdagang bersama Parni, hingga kini punya dua anak dan beberapa cucu. 

“Saya kecil dibesarkan Mama (Suparni). Tanpa Mama, tidak akan seperti ini. Orangtua marah, wajar saja. Itu harus dihargai,” kata Tukiyem. 

“Ingatlah, kita dibesarkan oleh ibu yang ditinggal pergi bapaknya (suami). Tak bisa dibayangkan sulitnya, punya sandang pangan (dapat dari) cari sendiri-sendiri. Bagaimana pun, mereka orangtua yang baik,” kata Tukiyem. 

Tukiyem sepenuhnya merawat Suparni. Ibunya itu sudah tidak lagi bekerja sejak patah tulang bahu akibat ditabrak mobil di jalan raya alternatif Wates–Magelang ini. 

Ia mengatakan, kuncinya adalah sabar kalau mau merawat orangtua.

Kesabarannya itu membuat banyak warga yang sudah sepuh di sekitarnya menyukai dirinya. 

Pada usia senja, Suparni hidup sederhana di rumah. Uniknya, seiring usia yang konon sudah lebih seabad malah membuatnya makin terkenal. 

Kemandirian, pengalaman hidup, resep umur panjang, bahkan makanan kesukaan, ditambah pula bumbu wejangannya kerap menjadi obyek konten para videografer.

Mereka silih berganti datang, bikin video dengan Mbah Parni pemeran dalam video, atau sesekali mengajaknya pergi menyambangi beberapa lokasi. Video yang ada Suparni pun viral. 

Mbah Parni cukup senang karena jadi hal itu jadi salah satu mata pencarian di usia senja.

“Yang longgar pikiran. Kalau ada kejadian, tenang saja. Tidak usah pikir bunek-bunek (susah dan pusing),” katanya lagi-lagi tentang kehidupan.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/07/27/140816778/mengaku-usia-136-tahun-nama-mbah-parni-viral-karena-wejangan-jadilah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke