KULON PROGO, KOMPAS.com – Penyakit busung lapar pernah melanda wilayah Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada masa silam.
Bangunan zaman Belanda di Kapanewon Sentolo, Kulon Progo, ini menjadi saksi bisu usaha pemerintah mengentaskan busung lapar ini.
Lokasi bangunan berada di Pedukuhan Sentolo Kidul, Kalurahan Sentolo, Kapanewon Sentolo, Kulon Progo. Kini, menjadi Puskesmas I Sentolo.
“Yang dulu bekas rumah sakit honger oedeem atau rumah sakit busung lapar. Mereka yang sepuh mungkin masih ingat bagaimana kelaparan melanda Kulon Progo. Mereka banyak yang kekurangan gizi dan meninggal dunia,” kata Kepala Puskesmas I Sentolo, Dokter Renny Lo, Sabtu (5/2/2022).
Busung lapar adalah salah satu penyakit akibat gizi buruk. Penyakit ini disebabkan karena penderita kekurangan protein dan kalori yang parah.
Hal itu bisa mengakibatkan retensi cairan di dalam tubuh sehingga membuat perut seolah-olah membengkak.
Penderita juga rentan mengalami infeksi parah dan menderita berbagai penyakit yang dapat berujung kematian.
Busung lapar ini melanda bahkan sebelum Kulon Progo memulai pemerintahan baru, dari penyatuan dua wilayah kabupaten Adikarto dan kabupaten Kulon Progo pada 1951.
Penggabungan dua wilayah menjadi Kulon Progo berdampak pada semua sisi kehidupan, baik ekonomi, politik dan kesehatan.
Upaya mengentaskan busung lapar saat itu juga makin berhasil.
Rumah sakit berdiri untuk menangani sakit busung lapar pada 1954. Rumah sakit memakai bangunan bekas pemerintahan di Sentolo.
Tidaklah heran kalau kawasan sekitarnya juga bertahan dan masih banyak bangunan lawas, mulai dari kantor pos terdekat, beberapa toko dan stasiun.
Baca juga: Covid-19: Klaster Hajatan Pernikahan di Kulon Progo Bertambah Lima Kasus
Bahkan, lapangan depan puskesmas hingga jalan lurus yang memisahkan lapangan dan pasar, juga masih seperti dulu.
Eks RS busung lapar itu kini menjadi saksi bisu usaha pemerintah itu.
Tidak hanya tersisa bangunan saja, beberapa peninggalan di masa lalu juga masih ada, mulai dari telepon engkol kuno, beteng atau pagar kuno hingga sumur kuno.
“Air sumur bahkan cukup untuk menghidupi kebutuhan semua kebutuhan puskesmas. Airnya bagus. Dulu, kami pakai air PAM dengan biaya Rp 2 juta. Setelah pakai sumur, cuma keluar Rp 200.000,” kata Renny.