Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puskesmas Jadi Cagar Budaya, Saksi Bisu Kulon Progo Keluar dari Penyakit Busung Lapar di Masa Silam

Kompas.com, 7 Februari 2022, 11:32 WIB
Dani Julius Zebua,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com – Penyakit busung lapar pernah melanda wilayah Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada masa silam.

Bangunan zaman Belanda di Kapanewon Sentolo, Kulon Progo, ini menjadi saksi bisu usaha pemerintah mengentaskan busung lapar ini.

Lokasi bangunan berada di Pedukuhan Sentolo Kidul, Kalurahan Sentolo, Kapanewon Sentolo, Kulon Progo. Kini, menjadi Puskesmas I Sentolo.

“Yang dulu bekas rumah sakit honger oedeem atau rumah sakit busung lapar. Mereka yang sepuh mungkin masih ingat bagaimana kelaparan melanda Kulon Progo. Mereka banyak yang kekurangan gizi dan meninggal dunia,” kata Kepala Puskesmas I Sentolo, Dokter Renny Lo, Sabtu (5/2/2022).

Baca juga: Wakil Bupati Kulon Progo Positif Covid-19, Diduga Terkait Transmisi Lokal Penularan Klaster Hajatan Pernikahan

Busung lapar adalah salah satu penyakit akibat gizi buruk. Penyakit ini disebabkan karena penderita kekurangan protein dan kalori yang parah.

Hal itu bisa mengakibatkan retensi cairan di dalam tubuh sehingga membuat perut seolah-olah membengkak.

Penderita juga rentan mengalami infeksi parah dan menderita berbagai penyakit yang dapat berujung kematian.

Bekas rumah sakit busung lapar di masa lalu masih bertahan sampai kini di Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, bangunan jadi Puskesmas I Sentolo. Sisa peninggalan masih ada sampai kini, baik bangunan rumah sakit itu sendiri, sumur, telepon engkol hingga pagar kuno.KOMPAS.COM/DANI JULIUS Bekas rumah sakit busung lapar di masa lalu masih bertahan sampai kini di Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, bangunan jadi Puskesmas I Sentolo. Sisa peninggalan masih ada sampai kini, baik bangunan rumah sakit itu sendiri, sumur, telepon engkol hingga pagar kuno.

Busung lapar ini melanda bahkan sebelum Kulon Progo memulai pemerintahan baru, dari penyatuan dua wilayah kabupaten Adikarto dan kabupaten Kulon Progo pada 1951.

Penggabungan dua wilayah menjadi Kulon Progo berdampak pada semua sisi kehidupan, baik ekonomi, politik dan kesehatan.

Upaya mengentaskan busung lapar saat itu juga makin berhasil.

Rumah sakit berdiri untuk menangani sakit busung lapar pada 1954. Rumah sakit memakai bangunan bekas pemerintahan di Sentolo.

Tidaklah heran kalau kawasan sekitarnya juga bertahan dan masih banyak bangunan lawas, mulai dari kantor pos terdekat, beberapa toko dan stasiun.

Baca juga: Covid-19: Klaster Hajatan Pernikahan di Kulon Progo Bertambah Lima Kasus

Bahkan, lapangan depan puskesmas hingga jalan lurus yang memisahkan lapangan dan pasar, juga masih seperti dulu.

Eks RS busung lapar itu kini menjadi saksi bisu usaha pemerintah itu.

Tidak hanya tersisa bangunan saja, beberapa peninggalan di masa lalu juga masih ada, mulai dari telepon engkol kuno, beteng atau pagar kuno hingga sumur kuno.

“Air sumur bahkan cukup untuk menghidupi kebutuhan semua kebutuhan puskesmas. Airnya bagus. Dulu, kami pakai air PAM dengan biaya Rp 2 juta. Setelah pakai sumur, cuma keluar Rp 200.000,” kata Renny.

Bekas rumah sakit busung lapar di masa lalu masih bertahan sampai kini di Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, bangunan jadi Puskesmas I Sentolo. Tampak lorong dalam bekas rumah sakit. Bangunan kini menjadi kantor puskesmas. Sisa peninggalan yang lain masih ada sampai sekarang, baik bangunan rumah sakit itu sendiri, sumur, telepon engkol hingga pagar kuno.KOMPAS.COM/DANI JULIUS Bekas rumah sakit busung lapar di masa lalu masih bertahan sampai kini di Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, bangunan jadi Puskesmas I Sentolo. Tampak lorong dalam bekas rumah sakit. Bangunan kini menjadi kantor puskesmas. Sisa peninggalan yang lain masih ada sampai sekarang, baik bangunan rumah sakit itu sendiri, sumur, telepon engkol hingga pagar kuno.

Bangunan bekas rumah sakit seluas 242 meter persegi itu terdiri dua bangunan yang berdiri bersisian, Barat dan Timur.

Yang Timur seluas 154 meter persegi dan yang Barat 88 meter persegi.

Konstruksinya tidak berubah. Dinding tebal, ubin abu-abu yang memang ubin lama, punya atap pelana.

Semua bangunan dipakai sebagai kantor puskesmas.

Dengan latar sejarah itu, pemerintah Kabupaten Kulon Progo kemudian mencanangkannya sebagai cagar budaya melalui SK Nomo 508/A/2021.

SK itu ditandatangani Bupati Kulon Progo, Sutedjo pada 24 November 2021.

“Kami survei ke lokasi, mengumpulkan data, dan wawancara. Data awal ini ditelusur lebih lanjut, dikembangkan dan diolah Tim Penetapan Cagar Budaya Kulon Progo. Penelusuran, pengumpulan dan pengolahan data itu memakan waktu, apalagi kalau dikaitkan kesulitan mendapatkan data-datanya. Lalu disidangkan untuk ditentukan layak atau tidak untuk direkomendasikan sebagai cagar budaya ke Bupati. Satu obyek bisa sekitar 2-3 minggu,” kata Arkeolog Narasumber Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kulon Progo, Danang Indra Prayudha, melalui pesan singkat.

Telepon engkol kuno di bekas rumah sakit busung lapar di masa lalu masih bertahan sampai kini di Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, bangunan jadi Puskesmas I Sentolo. Telepon itu jadi alat komunikasi handal demi penanganan penyakit. Sisa peninggalan lain masih ada sampai kini, baik bangunan rumah sakit itu sendiri, sumur, hingga pagar kuno.KOMPAS.COM/DANI JULIUS Telepon engkol kuno di bekas rumah sakit busung lapar di masa lalu masih bertahan sampai kini di Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, bangunan jadi Puskesmas I Sentolo. Telepon itu jadi alat komunikasi handal demi penanganan penyakit. Sisa peninggalan lain masih ada sampai kini, baik bangunan rumah sakit itu sendiri, sumur, hingga pagar kuno.

Bangunan lawas itu kini jadi bagian puskesmas. Bangunan lama dibiarkan apa adanya, hanya diperbaiki dan dipelihara saja.

Pemerintah membangun gedung baru di depan dan sekitarnya untuk melayani pasien hingga rumah pegawai.

“Biar yang datang merasa bangga, bahwa tidak semua puskesmas memiliki seperti ini,” kata Renny.

Berpuluh-puluh tahun, bangunan itu jadi salah satu ujung tombak melawan penyakit yang menyerang warga.

Kini, semua tenaga kesehatan yang bekerja dalam bangunan itu punya tantangannya sendiri. Covid-19 melanda di seluruh negeri, termasuk kawasan Sentolo I.

Baca juga: Tahun Baru Imlek, Warga Menunggu Peziarah Bagi-bagi Angpau di Kuburan Tionghoa Kulon Progo

Para tenaga medis, tenaga kesehatan, hingga relawan berupaya mendorong keberhasilan menekan perkembangan Covid-19, baik lewat sosialisasi protokol kesehatan, tracing, hingga vaksinasi.

Sembari itu, mereka juga menangani demam berdarah yang mulai muncul penderitanya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Yogyakarta
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau