Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jeritan Hati Pembeli Unit Rumah di Atas Tanah Kas Desa yang Disegel, Nasib Tak Jelas dan Waswas Uang Hilang

Kompas.com, 8 Mei 2023, 05:17 WIB
Wijaya Kusuma,
Dita Angga Rusiana

Tim Redaksi

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Pemanfaatan tanah tanah kas desa (TKD) menjadi sorotan. Terdapat beberapa lokasi tanah kas desa (TKD) yang pemanfaatanya tidak sesuai izinnya.

Salah satunya tanah kas desa di wilayah Candibinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman. Di tanah kas desa tersebut dibangun perumahan.

Pengembang dari perumahan di atas tanah kas desa tersebut yakni RS (33), telah ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi DIY. RS ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tindak pidana korupsi terkait dengan pemanfaatan tanah kas desa Caturtunggal, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman.

Dari pengamatan Kompas.com, di lokasi tersebut, terlihat bangunan yang sudah jadi. Di dinding bagian depan rumah bertuliskan villa lengkap dengan kode huruf dan nomor.

Di bangunan yang sudah jadi ada yang telah ditinggali dan bahkan disewakan. Namun banyak juga bangunan yang mangkrak.

Baca juga: Sultan Minta Penyalahgunaan Tanah Kas Desa Jadi Hunian Dicek Kerugiannya

Sejumlah konsumen yang telah mengambil unit rumah di atas tanah kas desa tersebut membagikan kisahnya kepada Kompas.com.

Konsumen berinisial AM mengaku pada tahun 2021 belum memiliki rumah. Sementara dirinya akan pensiun dari pekerjaanya.

"Saya kan belum punya rumah. Saya berusaha mendapatkan rumah untuk pensiun saya, untuk masa tua saya," katanya saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Jumat (6/05/2023).

Saat sedang mencari rumah tersebut, AM bertemu dengan seseorang yang menawarkan bangunan di atas tanah kas desa daerah Candibinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman.

"Saya tanya ada enggak tanah yang kira-kira 50 meter atau 100 meter, Dia bilang ada dan diantarkan ke sini. Pada waktu itu proses pembangunan sedang masif," ucapnya.

AM kemudian bertemu dengan bagian marketing. Satu unit untuk ukuran 6 meter × 4 meter saat itu harganya Rp 110 juta. AM lantas memutuskan untuk membeli satu unit terkecil tersebut.

"Ya sudah saya ambil, saya bayar dua kali pada waktu itu," ucapnya.

AM mengaku telah mengetahui jika bangunan yang dibelinya tersebut di atas tanah kas desa.

"Tanah itu kan punya status masing-masing, memang yang paling afdol itu SHM. Tapi kalau HPL atau HGB (Hak Guna Bangunan) bagi saya nggak masalah karena sepanjang saya bisa mengambil manfaat sesuai dengan apa yang dijanjikan, peruntukanya," urainya.

Ada beberapa hal yang membuat AM memutuskan untuk mengambil unit di lokasi tersebut. Selain murah, juga karena tergiur dengan master plan yang disampaikan oleh pengembang.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau