YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Korban erupsi Gunung Merapi 2010 yang transmigrasi ke Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, hingga kini diduga belum menerima haknya berupa lahan usaha seluas 2 hektare per kepala keluarga (KK).
Meskipun jatah lahan dan sertifikat sudah tercantum dalam nota kesepahaman antara pemerintah daerah, warga transmigrasi asal Sleman tersebut masih menunggu kepastian.
Bupati Sleman, Harda Kiswaya, mengungkapkan bahwa ia mengetahui permasalahan ini dari anggota DPR RI, Totok Daryanto.
Baca juga: Menko AHY Lepas 135 Transmigran asal Jateng dan DIY ke Sumatera dan Sulawesi
"Pertama kali saya tahu itu malah dari DPR pusat, Mas Totok Daryanto, kalau ada transmigrasi dari Sleman yang belum dilayani sesuai kesepakatan antara Kabupaten Sleman dan Konawe Selatan," ujar Harda saat ditemui di kantor DPRD Sleman, Senin (23/06/2025).
Pada tahun 2011, sebanyak 25 KK berangkat transmigrasi ke Konawe Selatan, khususnya di Kecamatan Ranomeeto.
Mereka adalah korban erupsi Gunung Merapi 2010.
Dari 25 KK tersebut, 12 KK memilih kembali ke Sleman karena kesulitan beradaptasi.
"Dulu awalnya ada 25 KK, tapi ada 12 KK yang pulang, mungkin tidak kuat menjalani kehidupan di sana," kata Harda.
Saat ini, masih ada 13 KK yang bertahan di Konawe Selatan, namun mereka juga belum mendapatkan hak lahan usaha yang dijanjikan.
"Yang 13 ini belum terlayani sesuai harapannya. Awalnya akan diberikan dua hektar, tapi baru satu hektar yang diterima," tuturnya.
Harda menjelaskan, berdasarkan informasi yang diterimanya saat kunjungan ke lokasi, luas lahan satu hektar yang diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
"Ada yang sesuai dan ada yang tidak, tetapi itu tidak menjadi masalah bagi teman-teman transmigran," ujarnya.
Baca juga: Mahasiswa di Manokwari Demo Tolak Program Transmigrasi Presiden Prabowo
Selama kunjungan tersebut, Harda juga berbicara dengan Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan mengenai langkah penyelesaian.
Pemerintah setempat berencana mengganti satu hektar lahan yang belum diberikan dengan menggarap kawasan hutan sosial.
"Itu dengan bahasa tanah kas desa, Nggaduh (bagi hasil) 35 tahun. Bisa diperpanjang satu kali, jadi bisa 70 tahun. Saya sampaikan kepada teman-teman transmigran agar bisa menerima, tetapi ini belum menjadi keputusan," jelasnya.