Asal-usul nama jalan Malioboro disebut berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu malyabhara yang berarti karangan bunga.
Adapula yang menyebut nama jalan Malioboro diambil dari nama seorang pejabat kolonial Inggris yang membangun kawasan ini menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan pada awal abad 19.
Hingga saat ini, kawasan Malioboro yang sudah direvitalisasi masih populer sebagai surga oleh-oleh, belanja, serta kuliner yang menjadi favorit wisatawan.
Kawasan Nol Kilometer yogyakarta berada di simpang empat Jalan Margo Mulyo, Jalan Panembahan Senopati, Jalan Pangurakan, dan Jalan KH. Ahmad Dahlan.
Lokasi ini dikelilingi beberapa bangunan bersejarah, seperti Kantor Pos Besar Yogyakarta, Gedung Bank Indonesia, Benteng Vredeburg, Gedung Bank BNI 46, dan Gedung Agung Yogyakarta.
Bagi wisatawan, Kawasan Nol Kilometer menjadi tempat yang menarik untuk menikmati suasana kota terutama pada malam hari.
Pedestrian yang luas, serta keberadaan kursi taman membuatnya cocok untuk disinggahi setelah menelusuri Jalan Malioboro.
Ikon Kota Jogja yang masih berada di sekitar kawasan Keraton Yogyakarta adalah beringin kembar.
Beringin kembar ini bisa ditemukan di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan Yogyakarta.
Nama beringin kembar di Alun-alun Utara adalah Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru (yang sekarang bernama Kyai Wijayadaru).
Di tengah kedua pohon beringin ini, dulu masyarakat bisa melakukan Tapa Pepe pada siang hari.
Tapa pepe dilakukan sebagai bentuk unjuk diri dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian ketika memohon keadilan langsung kepada Sultan.
Sementara pohon beringin kembar yang ada di tengah Alun-alun Selatan disebut supit urang.
Di sekitar pohon beringin kembar yang ada di tengah Alun-alun Selatan inilah wisatawan biasanya akan menjajal Tradisi Masangin.
Tradisi Masangin menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung Alun-alun Selatan Yogyakarta.
Keunikan Tradisi Masangin adalah cara melakukannya adalah dengan berjalan dengan mata tertutup dari tepi alun-alun ke arah celah di antara dua beringin.
Mitos yang berkembang terkait tradisi ini adalah, konon siapa saja yang berhasil melewatinya maka keinginan dan hajatnya akan terkabul.
Walau terlihat mudah, nyatanya banyak wisatawan yang gagal melakukannya meski telah mencobanya berkali-kali.
Mitos ini juga berkaitan dengan kepercayaan bahwa di tengah pohon tersebut terdapat jimat tolak bala untuk mengusir musuh.
Konon, ketika pasukan penjajah melewati tengah pohon untuk menyerang Keraton, maka kekuatan mereka langsung sirna.