Salin Artikel

8 Ikon Kota Yogyakarta yang Paling Populer, Apa Saja?

KOMPAS.com - Kota Yogyakarta adalah ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan.

Baik wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Kota Yogyakarta sengaja datang karena tertarik dengan tempat bersejarah, tradisi, maupun kulinernya.

Wisatawan yang datang dari luar daerah biasanya tidak akan melewatkan untuk menjajal berkunjung ke tempat wisata, melihat keunikan tradisi, dan menikmati kuliner yang khas di Kota Pelajar.

Sebagai kota dengan banyak destinasi beberapa hal yang menjadi ikon Kota Yogyakarta ini tidak bisa didapatkan di kota-kota lainnya.

Menjadi magnet yang menarik kunjungan wisatawan, berikut adalah sederet bangunan, kuliner, hingga tradisi yang menjadi ikon Kota Yogyakarta.

Tugu Pal Putih adalah ikon Kota Yogyakarta yang menjadi bagian dari Sumbu filosofi Yogyakarta.

Lokasi Tugu Pal Putih berada di tengah persimpangan Jalan Marga Utama, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan Pangeran Diponegoro.

Tugu Pal Putih merupakan pengganti Tugu Golong Gilig yang roboh akibat gempa tektonik pada 10 Juni 1867.

Dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Tugu Pal Putih diresmikan tanggal 3 Oktober 1889.

Tugu Pal Putih berbentuk persegi dan berujung lancip, dengan tinggi 15 meter.

Di sekelilingnya terdapat taman kecil dan pagar hijau pareanom yang bertuliskan aksara jawa.

Keraton Yogyakarta adalah istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta.

Kompleks bangunan yang menjadi tempat tinggal Sultan dan keluarga serta para abdi dalem ini juga menjadi bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta dibangun pasca Perjanjian Giyanti proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan.

Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755 dengan waktu pembangunan memakan waktu hampir satu tahun.

Selama proses pembangunan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang.

Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756, yang ditandai dengan sengkalan memet Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.

Kini sebagian kompleks bangunan Keraton Yogyakarta dibuka bagi wisatawan untuk berkunjung dan mengenal sejarah dan budaya yang ada di dalamnya.

Jalan Malioboro adalah ruas jalan yang membentang dari selatan simpang rel Stasiun Tugu Yogyakarta hingga Kawasan Nol Kilometer.

Lokasi Jalan Malioboro yang segaris dengan Jalan Margo Utomo dan Jalan Margo Mulyo membuatnya menjadi bagian garis imajiner Sumbu Filosofi Yogyakarta.

Asal-usul nama jalan Malioboro disebut berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu malyabhara yang berarti karangan bunga.

Adapula yang menyebut nama jalan Malioboro diambil dari nama seorang pejabat kolonial Inggris yang membangun kawasan ini menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan pada awal abad 19.

Hingga saat ini, kawasan Malioboro yang sudah direvitalisasi masih populer sebagai surga oleh-oleh, belanja, serta kuliner yang menjadi favorit wisatawan.

Kawasan Nol Kilometer yogyakarta berada di simpang empat Jalan Margo Mulyo, Jalan Panembahan Senopati, Jalan Pangurakan, dan Jalan KH. Ahmad Dahlan.

Lokasi ini dikelilingi beberapa bangunan bersejarah, seperti Kantor Pos Besar Yogyakarta, Gedung Bank Indonesia, Benteng Vredeburg, Gedung Bank BNI 46, dan Gedung Agung Yogyakarta.

Bagi wisatawan, Kawasan Nol Kilometer menjadi tempat yang menarik untuk menikmati suasana kota terutama pada malam hari.

Pedestrian yang luas, serta keberadaan kursi taman membuatnya cocok untuk disinggahi setelah menelusuri Jalan Malioboro.

Ikon Kota Jogja yang masih berada di sekitar kawasan Keraton Yogyakarta adalah beringin kembar.

Beringin kembar ini bisa ditemukan di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan Yogyakarta.

Nama beringin kembar di Alun-alun Utara adalah Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru (yang sekarang bernama Kyai Wijayadaru).

Di tengah kedua pohon beringin ini, dulu masyarakat bisa melakukan Tapa Pepe pada siang hari.

Tapa pepe dilakukan sebagai bentuk unjuk diri dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian ketika memohon keadilan langsung kepada Sultan.

Sementara pohon beringin kembar yang ada di tengah Alun-alun Selatan disebut supit urang.

Di sekitar pohon beringin kembar yang ada di tengah Alun-alun Selatan inilah wisatawan biasanya akan menjajal Tradisi Masangin.

Tradisi Masangin menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung Alun-alun Selatan Yogyakarta.

Keunikan Tradisi Masangin adalah cara melakukannya adalah dengan berjalan dengan mata tertutup dari tepi alun-alun ke arah celah di antara dua beringin.

Mitos yang berkembang terkait tradisi ini adalah, konon siapa saja yang berhasil melewatinya maka keinginan dan hajatnya akan terkabul.

Walau terlihat mudah, nyatanya banyak wisatawan yang gagal melakukannya meski telah mencobanya berkali-kali.

Mitos ini juga berkaitan dengan kepercayaan bahwa di tengah pohon tersebut terdapat jimat tolak bala untuk mengusir musuh.

Konon, ketika pasukan penjajah melewati tengah pohon untuk menyerang Keraton, maka kekuatan mereka langsung sirna.

Gudeg adalah ikon Kota Yogyakarta yang terbuat dari nangka muda dan santan dengan cita rasa manis dan gurih.

Kuliner ini identik dengan kawasan Jalan Wijilan yang ada di sebelah Selatan Plengkung Tarunasura di sebelah timur Alun-alun Utara.

Gudeg Wijilan memiliki cita rasa khas dengan jenis gudeg kering dan sehingga tahan hingga tiga hari dan bisa dibawa sebagai oleh-oleh.

Kawasan sentra gudeg ini semula hanya dihuni oleh satu penjual gudeg, yaitu Warung Gudeg Bu Slamet yang pertama kali merintis warung gudeg pada tahun 1942.

Hingga saat ini, sudah banyak bermunculan warung gudeg lainnya seperti Gudeg Yu Djum dan Gudeg Bu Lies.

Tak hanya gudeg, ada juga bakpia yang menjadi makanan khas Yogyakarta yang diburu wisatawan.

Nama Bakpia Pathuk diambil dari nama kawasan Pathuk yang merupakan sentra industri bakpia yang cukup terkenal di Yogyakarta.

Bakpia adalah kudapan berupa kue yang memiliki kulit dari tepung terigu dengan isian berupa kacang hijau dicampur gula yang diolah dengan cara dipanggang.

Seiring berjalannya waktu, terdapat variasi rasa isian seperti kumbu hitam, cokelat, keju, dan lain sebagainya.

Namun tidak banyak yang tahu jika bentuk bakpia dulu dan sekarang sudah jauh berbeda.

Sebutan bakpia berasal dari dialek Hokkian dengan nama asli Tou Luk Pia yang secara harfiah artinya kue atau roti yang berisikan daging.

Pada awalnya, bakpia dibuat menggunakan isian daging dan minyak dari babi.

Resep bakpia ini dibawa oleh seorang Tionghoa dari Wonogiri bernama Kwik Sun Kwok pada tahun 1940-an yang menjajakan bakpia di di Kampung Suryowijayan, di lahan milik seorang warga lokal bernama Niti Gurnito.

Niti Gurnito kemudian membuat usaha bakpianya sendiri yang dikenal dengan nama Bakpia Tamansari atau Bakpia Niti Gurnito.

Resep bakpia kini telah dimodifikasi menjadi kue yang tidak lagi menggunakan minyak babi melainkan diganti dengan isian kacang hijau.

Selain itu keunikan bakpia ada pada pemberian merek yang menggunakan nomor rumah di mana mereka membuka usaha.

Seperti Bakpia Patuk 75 milik Liem Bok Sing yang membuka usaha di Jalan Pathuk nomor 75, dan Bakpia Pathok 25 milik Tan Aris Nio yang membuka usaha di Jalan Pathuk nomor 25.

Sumber:
warta.jogjakota.go.id  
tataruang.jogjakota.go.id  
kratonjogja.id  
arsipdanperpustakaan.jogjakota.go.id  
arsipdanperpustakaan.jogjakota.go.id  
pariwisata.jogjakota.go.id  
kebudayaan.jogjakota.go.id  
sibakuljogja.jogjaprov.go.id  
pariwisata.jogjakota.go.id  
yogyakarta.kompas.com

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/10/07/231310178/8-ikon-kota-yogyakarta-yang-paling-populer-apa-saja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke