KOMPAS.com - Sekaten adalah salah satu Hajad Dalem di Keraton Yogyakarta yang berlangsung pada Bulan Mulud (Rabi’ul Awal).
Rangkaian acara Sekaten yang berlangsung dari tanggal 5 sampai dengan tanggal 12 Mulud ini diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Biasanya acara Sekaten akan dibuka dengan Miyos Gangsa dan ditutup dengan Kondur Gangsa serta Grebeg Maulud.
Baca juga: Ada Pasukan Gajah Saat Grebeg Maulud Keraton Yogyakarta, Drone Dilarang Terbang
Namun masyarakat Yogyakarta sempat memandang acara ini identik dengan adanya pasar malam yang digelar di Alun-alun Utara, padahal esensi sekaten bukanlah kegiatan tersebut.
Bahkan sejak 2022, pasar malam yang biasanya digelar pada perayaan Sekaten di Keraton Yogyakarta tidak lagi dihelat.
Lalu apa sebenarnya Sekaten di Keraton Yogyakarta? simak ulasannya berikut ini.
Baca juga: Mengenal 21 Gamelan Pusaka Milik Keraton Yogyakarta
Dilansir dari laman kratonjogja.id, ada dua pendapat yang menjelaskan asal-usul sebutan Sekaten yang menjadi Hajad Dalem di Keraton Yogyakarta.
Pendapat pertama menyebut kata Sekaten berasal dari kata Sekati yang merupakan nama seperangkat Gangsa (gamelan) yang dibunyikan selama pelaksanaan sekaten.
Pendapat kedua menyebut Sekaten berasal dari kata “syahadatain” yang merupakan kalimat untuk menyatakan seseorang memeluk Islam.
Baca juga: Grebeg Maulud, Puncak Peringatan Maulid Nabi di Keraton Yogyakarta
Konon upacara Sekaten sudah ada sejak zaman Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa berdiri.
Sekaten menjadi salah satu strategi dakwah Wali Songo yang menggunakan sarana budaya dalam menyebarkan ajaran Islam yang dibawanya.
Dilansir dari laman kemenag.go.id, Sekaten merupakan buah karya kreativitas dari Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga.
Dulu pada saat Sunan Kalijaga memainkan gamelan tersebut, banyak masyarakat berbondong-bondong untuk melihat karena penasaran.
Masyarakat penasaran dan tertarik mendekat dan masuk ke masjid untuk melihat sekaligus mendengarkan gamelan dari jarak dekat.
Hal tersebut dimanfaatkan untuk mengajak masyarakat membaca membaca syahadatain serta menyimak petuah dan dakwah mereka.
Saat pecahnya Kerajaan Mataram, Gangsa Sekati yang terdiri dari Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari dibagi menjadi dua.
Kyai Gunturmadu diserahkan kepada Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Kyai Guntursari diserahkan pada Kasunanan Surakarta.
Sehingga untuk mengembalikan kelengkapan gamelan Gangsa Sekati Kasultanan Yogyakarta membuat putran (duplikasi) dari Kyai Guntursari yang diberi nama Kyai Nagawilaga.
Rangkaian upacara Sekaten di Keraton Yogyakarta dimulai pada tanggal 5 Mulud dengan dikeluarkannya Gangsa Sekati atau Gamelan Sekaten yaitu Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga.
Gangsa Sekati akan dibawa oleh abdi dalem dari ruang penyimpanan di dalam Keraton menuju Bangsal Pancaniti.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.