Beliau juga disebut dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti membuat tolak bala dan sebagainya.
Pengobatan yang dilakukan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Al Quran pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya.
Dilansir dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id dan budaya.jogjaprov.go.id, terdapat beberapa versi kisah yang terkait dengan Kyai Welit dan asal-usul Rebo Wekasan.
Versi pertama menyebut upacara Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784. Saat itu daerah Wonokromo dan sekitarnya diterpa pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang.
Hal ini membuat masyarakat kemudian datang kepada Kyai Welit atau biasa dipanggil Mbah Kyai untuk meminta obat dan meminta berkah keselamatan.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat yang datang juga semakin banyak dan area di sekitar Masjid Wonokromo juga mulai dipenuhi pedagang.
Keramaian tersebut kemudian dirasa Mbah Kyai akan mengganggu keagungan masjid dan menghalangi jamaah yang akan memasuki Masjid Wonokromo untuk sholat.
Suatu hari, Mbah Kyai menemukan solusi dengan menyuwuk telaga di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah Timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.
Ketenaran Mbah Kyai akhirnya terdengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan menyuruh empat orang prajurit agar membawanya menghadap dan menunjukkan ilmunya.
Kemudian Kyai Faqih Usman pun akhirnya mendapatkan sanjungan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I karena kemampuannya tersebut.
Sepeninggal Mbah Kyai, banyak masyarakat yang masih mendatangi lokasi tempuran tersebut pada setiap hari Rabu Wekasan untuk mandi karena meyakini hal itu dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.
Tradisi mandi tersebut dimaksudkan agar manusia bersuci atau selalu "wisuh" untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada dalam tubuh.
Versi kedua menyebut upacara Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1600 dan tidak terlepas dari keberadaan Keraton Mataram.
Saat itu, Sultan Agung yang menduduki di Pleret menghadapi wabah penyakit atau pagebluk.
Melihat penderitaan rakyatnya, Sultan Agung kemudian bersemedi di sebuah masjid di Desa Kerta dan menerima wangsit atau ilham bahwa wabah penyakit tersebut bisa hilang dengan tolak bala.