Sultan Agung kemudian memanggil Kyai Sidik atau dikenal dengan nama Kyai Welit yang bertempat tinggal di Desa Wonokromo untuk membuat tolak bala tersebut.
Setelah itu Kyai Welit melaksanakan dawuh Sultan Agung untuk membuat tolak bala berwujud rajah dengan tulisan arab “Bismillahirrahmanirrahim” sebanyak 124 baris.
Rajah tersebut kemudian dibungkus dengan kain mori putih dan diserahkan kepada Sultan Agung untuk dimasukkan ke dalam bokor kencana yang berisi air.
Air tersebut kemudian diberikan kepada orang-orang yang tengah sakit dan ternyata bisa menyembuhkan.
Kabar ini kemudian tersebar ke desa-desa dan membuat lalu berbondong-bondong datang untuk mendapat air tersebut.
Karena khawatir air tersebut tidak mencukupi, Sultan Agung memerintahkan kepada Kyai Welit agar air yang masih tersisa dalam bokor kencana dituangkan di tempuran kali Opak dan Gajah wong.
Hal ini memiliki maksud agar siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut.
Versi ketiga menyebut upacara Rebo Wekasan bersumber dari kepercayaan masyarakat untuk membuat tolak bala untuk menolak malapetaka atau bahaya.
Pada waktu itu Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo dianggap bisa membuat tolak bala.
Kyai Faqih ini juga dikenal dengan sebutan Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rumbia.
Kyai Welit kemudian membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan huruf Arab.
Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat.
Karena banyaknya orang yang meminta wifik atau rajah sangat banyak, sehingga Kyai Welit membuat wifik atau rajah yang dipasang di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong.
Dengan cara ini, orang-orang tidak perlu lagi mendatangi Kyai Welit karena mereka cukup mengambil air atau mandi di tempuran tersebut.
Sumber:
warisanbudaya.kemdikbud.go.id
budaya.jogjaprov.go.id
wonokromo.bantulkab.go.id