Salin Artikel

Asal-usul Tradisi Rebo Wekasan dan Kisah Kyai Welit dari Wonokromo

KOMPAS.com - Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Sapar dalam kalender Jawa.

Di beberapa tempat seperti di Yogyakarta, tradisi yang lekat dengan mitos ini juga dikenal dengan nama Rebo Pungkasan.

Sehingga biasanya puncak acara dari tradisi Rebo Wekasan adalah pada Selasa malam atau malam Rabu.

Beberapa kelompok masyarakat memiliki persepsi bahwa bulan Safar kerap dianggap sebagai bulan yang tidak baik.

Salah satu penyebabnya adalah kepercayaan di masyarakat tentang kesialan di hari Rebo Wekasan.

Asal-usul Rebo Wekasan

Asal-usul Rebo Wekasan disebut berasal Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta.

Konon pada hari Rabu terakhir di bulan Sapar tersebut adalah hari bertemunya Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit.

Berdasarkan pada hari bersejarah itulah masyarakat kemudian memberi nama tradisi ini sebagai upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.

Dulu upacara ini berada di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong, yang keramaiannya bisa mencapai ke depan Masjid Wonokromo.

Namun lama-kelamaan keramaian itu mulai mengganggu kegiatan ibadah Masjid., sehingga Lurah Wonokromo memindahkan upacara Rebo Wekasan ke depan balai desa yakni di Lapangan Wonokromo.

Kemudian di tahun 1990, puncak tradisi Upacara Rebo Wekasan mulai menampilkan kirab lemper raksasa, yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diamter 45 cm.

Lemper raksasa tersebut kemudian diarak dari Masjid Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo, yang diawali dengan barisan prajurit Kraton Ngayogyakarta dan dibelakangnya diikuti kelompok kesenian setempat.

Adapun tradisi orang mandi atau menyeberang tempuran tidak dilakukan lagi, karena di sekitar tempuran kali tersebut sekarang dibuat bendungan untuk mengairi sawah.

Acara Rebo Wekasan tersebut kemudian dilakukan dengan menggelar pengajian akbar atau mujahadah akbar yang dilaksanakan pada hari Selasa malam atau pada malam Rabu terakhir di bulan Sapar.

Kisah Kyai Welit, Kyai Pertama di Wonokromo

Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit dikenal sebagai kyai pertama di Wonokromo yang memiliki kemampuan menyembuhkan segala penyakit.

Beliau juga disebut dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti membuat tolak bala dan sebagainya.

Pengobatan yang dilakukan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Al Quran pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya.

Dilansir dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id dan budaya.jogjaprov.go.id, terdapat beberapa versi kisah yang terkait dengan Kyai Welit dan asal-usul Rebo Wekasan.

Versi Pertama

Versi pertama menyebut upacara Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784. Saat itu daerah Wonokromo dan sekitarnya diterpa pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang.

Hal ini membuat masyarakat kemudian datang kepada Kyai Welit atau biasa dipanggil Mbah Kyai untuk meminta obat dan meminta berkah keselamatan.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat yang datang juga semakin banyak dan area di sekitar Masjid Wonokromo juga mulai dipenuhi pedagang.

Keramaian tersebut kemudian dirasa Mbah Kyai akan mengganggu keagungan masjid dan menghalangi jamaah yang akan memasuki Masjid Wonokromo untuk sholat.

Suatu hari, Mbah Kyai menemukan solusi dengan menyuwuk telaga di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah Timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.

Ketenaran Mbah Kyai akhirnya terdengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan menyuruh empat orang prajurit agar membawanya menghadap dan menunjukkan ilmunya.

Kemudian Kyai Faqih Usman pun akhirnya mendapatkan sanjungan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I karena kemampuannya tersebut.

Sepeninggal Mbah Kyai, banyak masyarakat yang masih mendatangi lokasi tempuran tersebut pada setiap hari Rabu Wekasan untuk mandi karena meyakini hal itu dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.

Tradisi mandi tersebut dimaksudkan agar manusia bersuci atau selalu "wisuh" untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada dalam tubuh.

Versi Kedua

Versi kedua menyebut upacara Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1600 dan tidak terlepas dari keberadaan Keraton Mataram.

Saat itu, Sultan Agung yang menduduki di Pleret menghadapi wabah penyakit atau pagebluk.

Melihat penderitaan rakyatnya, Sultan Agung kemudian bersemedi di sebuah masjid di Desa Kerta dan menerima wangsit atau ilham bahwa wabah penyakit tersebut bisa hilang dengan tolak bala.

Sultan Agung kemudian memanggil Kyai Sidik atau dikenal dengan nama Kyai Welit yang bertempat tinggal di Desa Wonokromo untuk membuat tolak bala tersebut.

Setelah itu Kyai Welit melaksanakan dawuh Sultan Agung untuk membuat tolak bala berwujud rajah dengan tulisan arab “Bismillahirrahmanirrahim” sebanyak 124 baris.

Rajah tersebut kemudian dibungkus dengan kain mori putih dan diserahkan kepada Sultan Agung untuk dimasukkan ke dalam bokor kencana yang berisi air.

Air tersebut kemudian diberikan kepada orang-orang yang tengah sakit dan ternyata bisa menyembuhkan.

Kabar ini kemudian tersebar ke desa-desa dan membuat lalu berbondong-bondong datang untuk mendapat air tersebut.

Karena khawatir air tersebut tidak mencukupi, Sultan Agung memerintahkan kepada Kyai Welit agar air yang masih tersisa dalam bokor kencana dituangkan di tempuran kali Opak dan Gajah wong.

Hal ini memiliki maksud agar siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut.

Versi Ketiga

Versi ketiga menyebut upacara Rebo Wekasan bersumber dari kepercayaan masyarakat untuk membuat tolak bala untuk menolak malapetaka atau bahaya.

Pada waktu itu Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo dianggap bisa membuat tolak bala.

Kyai Faqih ini juga dikenal dengan sebutan Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rumbia.

Kyai Welit kemudian membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan huruf Arab.

Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat.

Karena banyaknya orang yang meminta wifik atau rajah sangat banyak, sehingga Kyai Welit membuat wifik atau rajah yang dipasang di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong.

Dengan cara ini, orang-orang tidak perlu lagi mendatangi Kyai Welit karena mereka cukup mengambil air atau mandi di tempuran tersebut.

Sumber:
warisanbudaya.kemdikbud.go.id  
budaya.jogjaprov.go.id  
wonokromo.bantulkab.go.id  

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/09/12/181810878/asal-usul-tradisi-rebo-wekasan-dan-kisah-kyai-welit-dari-wonokromo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke