"Mereka raja tega, siapapun dibabat. Tidak mengenal agama, tidak mengenal suku bangsa, tidak mengenal jenis kelamin. Pokonya kena kena saja dan kalau enggak kuat, risikonya meninggal," tandasnya.
Nanung berharap pemerintah lebih serius dalam menangani antraks. Keseriusan ini dengan memberikan tambahan anggaran.
"Saya kepengin ada dua anggaran lagi yang diposkan di situ. Pertama menambah pengadaan mobile insinerator," tegasnya.
Dalam prosedur operasi standar (standard operating procedure/SOP) ternak yang terkena antraks harus dibakar sampai habis hingga menjadi abu. Sebab, spora antraks menjadi sumber dari permasalahan yang perlu ditangani dengan serius.
"Antraks ini beda, oke lah bakterinya mati tapi sporanya bisa jadi tidak mati. Jadi memang harus dikremasi, dibakar sampai jadi abu," urainya.
Menurutnya semua daerah yang pernah ditemukan kasus antraks pemerintahnya perlu memiliki fasilitas mobile insinerator. Selain itu, perlu juga harus ada anggaran untuk perawatan.
"Di semua wilayah yang pernah ada kasus mestinya ada fasilitas itu (mobile insinerator) kemudian ada yang merawat. Jadi tidak hanya pengadaan alat, tapi juga harus ada yang merawat itu harus ada anggaranya," bebernya.
Baca juga: Cegah Tradisi Brandu, Pemkab Gunungkidul Usulkan Adanya Kompensasi Pembelian Ternak Antraks
Jika alat kremasi tidak ada, Nanung mengungkapkan bisa dibakar dengan menggunakan kayu. Namun harus dipastikan benar-benar terbakar sampai menjadi abu.
"Jika tidak memungkinkan, pilihan ketiga adalah dikubur minimal 2 sampai 3 meter. Kemudian disemen. Dan tanah itu tidak boleh diolah sampai kapan pun. Karena sporanya awet, pemerintah perlu membeli tanah itu kemudian dipagar dan diberi pengumuman," ucapnya.
Menurut Nanung, kasus antraks di Gunungkidul bukan yang pertama. Namun sebelumnya sudah pernah terjadi. Hal itu terkait dengan kebiasaan brandu di masyarakat.
"Cukup ini yang terakhir dan kebiasaan brandu tolong jangan diulang lagi selamanya. Ketika ada hewan yang mati mendadak jangan dibrandu, dibeli kemudian dibagi-bagikan dagingnya. Jangan lagi begitu, itu kan membagikan penyakit. Semua pihak harus mengambil langkah untuk berpartisipasi untuk menghentikan kebiasaan membrandu selamanya," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.