Pernikahan keduanya digelar pada tahun 1889. Dari pernikahan ini lahir enam orang anak.
Seiring berjalannya waktu, Muhammad Darwis mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Dari sinilah Siti Walidah kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan.
Nyai Ahmad Dahlan merupakan sosok istri yang setia dan mendukung penuh perjuangan suaminya baik dalam dakwah Islam maupun dalam menentang penjajahan.
Baca juga: Biografi Sukarni Kartodiwirjo, Pahlawan Nasional Asal Blitar yang Berani Culik Soekarno-Hatta
Pada tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, yaitu organisasi pembaruan Islam pertama di Yogyakarta.
Sejak saat itu, Nyai Ahmad Dahlan juga aktif menyokong perjuangan suaminya melalui pendidikan kaum wanita.
Nyai Ahmad Dahlan rela keluar masuk kampung untuk mengadakan pengajian kaum wanita, mulai dari Kauman, Lempuyangan, Karangkajen, hingga Pakualaman.
Perkumpulan pengajian ini kemudian dikenal dengan nama Wal Ashri.
Memasuki tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan perkumpulan bernama Sopo Tresno yang merupakan cikal bakal Aisyiyah.
Lambat laun, Sopo Tresno yang anggotanya makin banyak dirasa perlu untuk diresmikan menjadi kelompok perempuan.
Penggantian nama pun mulai digagas. Awalnya diusulkan nama Fatimah, yang merujuk pada putri Nabi Muhammad.
Namun nama itu tidak disetujui. Hingga kemudian pilihan jatuh pada nama Aisyiyah yang merujuk pada nama istri Nabi Muhammad.
Aisyiyah didirikan pada tanggal 22 April 1917, dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai salah satu pemimpinnya.
Namun demikian, ketua pertama Aisyiyah bukan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, melainkan Siti Bariyah.
Baru pada tahun 1921, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah, dan Siti Walidah ditunjuk menjadi Ketua Hoofbestuur Muhammadiyah Bagian Aisyiyah.
Sejak saat itu, Nyai Ahmad Dahlan gigih berjuan mengangkat harkat dan martabat kaum wanita melalui Aisyiyah.