"Ya kami harus babat alas lagi, pasti mempengaruhi omzet," imbuh dia.
Ia mengaku bingung harus bersuara ke mana dan kepada siapa.
Oleh sebab itu, ia mengadu ke kantor LBH dengan harapan relokasi ini dapat ditunda terlebih dahulu.
PKL lain Purwandi warga Wijilan, Kota Yogyakarta, menambahkan, pengaduan ke LBH Yogyakarta ini murni dari para pedagang, belum melalui paguyuban di Malioboro.
Karena, ia menilai paguyuban juga belum transparan dengan anggota-anggotanya.
"Ini baru individu, benar-benar dari arus bawah. Kami punya paguyuban sendiri tetapi belum transparan ke arus bawah," ujar dia.
Rencana relokasi PKL Malioboro ke eks gedung bioskop indra dan eks gedung Dinas Pariwisata DIY tidak dibarengi dengan jaminan kesejahteraan PKL dari Pemerintah DIY.
"Kami terbelenggu karena pandemi dan ini belum selesai tahu-tahu direlokasi dan pemerintah tidak menjamin kesejahteraan PKL. Kami meminta bantuan hukum mudah-mudahan nanti bisa terkabul karena kami awam masalah hukum," ujar dia.
Divisi Penilitian LBH Yogyakarta Era Hareva menyampaikan, kebijakan Pemerintah DIY merelokasi Pedagang Kaki Lima Malioboro bahkan mengabaikan partisipasi dari masyarakat.
"Pemerintah DIY harusnya menyampaikan urgensi relokasi sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi pedagang kaki lima Malioboro," kata dia.
Baca juga: 1.700 PKL Malioboro Akan Direlokasi ke Dua Tempat Ini Mulai Januari 2022
LBH Yogyakarta menilai, Pemerintah DIY tergesa-gesa.
Selanjutnya LBH Yogyakarta berpandangan bahwa kebijakan untuk merelokasi PKL Malioboro yang ditargetkan akan rampung pada bulan Januari 2020 sangatlah tidak tepat.
Hal itu disebabkan karena pertama dilakukan pada saat Pandemi Covid-19 yang belum usai, di mana kondisi ekonomi PKL Malioboro masih terpuruk dan belum pulih.
"Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap sektor kesehatan dan perekonomian rakyat. Sebagai salah satu daerah yang menggantungkan pendapatannya dari aktivitas parawisata, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah yang turut terdampak," kata dia.