YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Video pengemis di Jalan Pasar Kembang (Sarkem) Kota Yogyakarta, beberapa waktu lalu karena berpura-pura lumpuh menjadi viral.
Sebelum viralnya pengemis tersebut, Satpol PP DIY pernah mendapati pengemis yang beroperasi di Yogyakarta memiliki buku rekening Rp 48 juta di bank.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajat Sulistyo Widhyarto mengatakan, fenomena pengemis itu sangat sosiologis.
"Maksud saya sangat sosiologis itu bahwa masyarakat kita itu masyarakat dengan tingkat kedermawanan tinggi dan memiliki nilai-nilai agamis yang kuat. Semua agama menyarankan suka berderma, suka menolong orang," ujar Derajat, saat dihubungi, pada Senin (11/7/2023).
Baca juga: Polsek Gedongtengen Yogya Amankan Pengemis Pura-pura Lumpuh yang Videonya Viral
Derajat menyampaikan, nilai-nilai kedermawanan, suka menolong, itu terkadang dimanfaatkan orang.
Salah satu yang memanfaatkan adalah orang-orang yang tidak mempunyai etos kerja kompetitif.
"Salah satunya itu mereka yang meminta-minta, mengemis. Nah, karena orang kita ini suka membantu, suka memberi, suka dermawan, maka mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang mempunyai karakter meminta-minta tadi, atau etos kompetitifnya rendah lah, tidak mau berusaha lebih," urai dia.
Fenomena pengemis, lanjut Derajat, tidak hanya di Indonesia. Namun, juga ada di negara-negara lainya.
Baca juga: Cerita Satpol PP Yogyakarta Tangkap Pengemis Tajir, Rekeningnya Rp 48 Juta dari Seminggu Mengemis
"Artinya sebenarnya mereka mampu, pengemis itu mampu dia. Cuma yang bermasalah itu cara berfikir konstruksinya, oh ternyata kalau saya meminta-minta orang ngasih duit. Jadi, dia mengkonstruksi dirinya menjadi orang yang lemah," tutur dia.
Derajat menuturkan, penanganan secara formal mulai dari pembinaan kemudian membawa ke panti sosial sudah sering dilakukan.
Namun, langkah itu tidak menyelasaikan masalah fenomena pengemis.
Derajat mengatakan, ada lagi dimensi sisi sosiologis, yaitu memaksa para pengemis menjadi bagian dari lingkungan yang kompetitif.