Di sana, mereka berkumpul dalam kebersamaan, membuka rangkaian acara dengan doa bersama sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur.
Baca juga: Mengenal Tradisi Nyadran, Samakah dengan Upacara Sraddha di Zaman Majapahit?
Hadi bercerita tentang beragam makanan yang dibawa oleh warga dalam tradisi ini. Namun, ada tiga jenis hidangan yang selalu menjadi bagian utama: ketan, apem, dan kolak. Selain itu, warga juga membawa tumpeng, ingkung utuh, dan aneka buah-buahan sebagai pelengkap.
Menurut Hadi, tiga makanan utama tersebut bukan sekadar sajian, tetapi memiliki makna tersendiri. Ia mencontohkan bahwa ketan melambangkan persatuan dan kesatuan warga, karena sifatnya yang lengket dan merekat.
"Ini sifatnya sedekah dan sebagai ucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Tujuannya adalah kita nikmati bersama, kita makan bareng-bareng biar guyub, rukun, semua bisa merasakan yang sama," tuturnya.
Titik tidak sendiri. Ia duduk bersama warga perempuan lainnya, semua membawa jodhang berisi makanan yang nantinya akan disantap bersama.
Bagi Titik, jodhang yang ia gunakan bukan sekadar wadah biasa. Ia telah memilikinya sejak lama, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi.
"Ini namanya jodhang. Ini sudah lama sekali, sejak simbah buyut saya. Jodhang ini turun-temurun dan masih bisa dipakai," tutur Titik, sembari mengusap permukaan kayu jodhang miliknya.
Baca juga: Tradisi Nyadran Dam Bagong Trenggalek, Larung Kepala Kerbau Bule sebagai Wujud Syukur
Jodhang ini terbuat dari papan kayu, dan di masa lalu biasanya menggunakan kayu jati agar lebih awet.
Sebagai bentuk perawatan, setelah digunakan, jodhang akan disimpan kembali dengan tambahan kapur barus agar tetap terjaga kualitasnya.
"Ini milik pribadi, keluarga. Biasanya kalau sudah selesai acara ya disimpan lagi. Biasanya agar awet saat disimpan itu diberi kapur barus," ucapnya.
Warga memikul jodhang--peti kayu--yang ditutup kain, berisi makanan untuk tradisi Nyadran Pasar di Padukuhan Saren, Kalurahan Wedomartani, Kapanewon Ngemplak, Kabupaten Sleman, Rabu (19/2/2025).Bagi Titik, mempertahankan penggunaan jodhang bukan hanya soal kebiasaan, tetapi juga bentuk pelestarian budaya. Selain memiliki nilai historis, jodhang juga lebih praktis karena dapat menampung banyak makanan dalam satu wadah.
"Di samping sudah turun-temurun, dari awal memang pakai jodhang. Ini kan muat banyak, jadi membawa makanannya mudah," katanya.
Baca juga: Mengenal Tradisi Nyekar atau Nyadran di Lumajang
Makanan yang dibawa pun beragam, ada yang dimasak sendiri dan ada pula yang dibeli. Setiap keluarga membawa makanan sesuai kemampuan mereka, mencerminkan nilai kebersamaan dalam tradisi Nyadran Pasar.
"Makanan seperti nasi, lauk itu saya masak sendiri, kalau jajanan pasar beli. Jaman dulu makanan masak sendiri semua dan dari hasil kebun," ujar Titik.
Sejak kecil, Titik telah menjadi bagian dari Nyadran Pasar. Kini, meski ia telah menetap di desa lain mengikuti suaminya, acara ini tetap menjadi agenda wajib baginya setiap tahun.
"Saya kan ikut suami, ibu saya yang masih tinggal di sini. Saya pasti meluangkan waktu untuk acara ini," pungkasnya dengan senyum penuh kebanggaan.
Baca juga: Nyadran di Suroloyo: Tradisi, Identitas, dan Kepedulian Lingkungan
Nyadran Pasar bukan hanya soal berbagi makanan, tetapi juga tentang merawat nilai-nilai leluhur dan mempererat tali silaturahmi antarwarga.
Dan di antara semua elemen tradisi yang masih bertahan, jodhang tetap menjadi simbol yang membawa jejak masa lalu ke dalam kehidupan hari ini.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang