Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Tradisi Nyadran Pasar di Saren Sleman: Jodhang, Makanan Sakral, dan Kebersamaan

Kompas.com, 19 Februari 2025, 19:36 WIB
Wijaya Kusuma,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

Di sana, mereka berkumpul dalam kebersamaan, membuka rangkaian acara dengan doa bersama sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur.

Baca juga: Mengenal Tradisi Nyadran, Samakah dengan Upacara Sraddha di Zaman Majapahit?

Hadi bercerita tentang beragam makanan yang dibawa oleh warga dalam tradisi ini. Namun, ada tiga jenis hidangan yang selalu menjadi bagian utama: ketan, apem, dan kolak. Selain itu, warga juga membawa tumpeng, ingkung utuh, dan aneka buah-buahan sebagai pelengkap.

Menurut Hadi, tiga makanan utama tersebut bukan sekadar sajian, tetapi memiliki makna tersendiri. Ia mencontohkan bahwa ketan melambangkan persatuan dan kesatuan warga, karena sifatnya yang lengket dan merekat.

"Ini sifatnya sedekah dan sebagai ucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Tujuannya adalah kita nikmati bersama, kita makan bareng-bareng biar guyub, rukun, semua bisa merasakan yang sama," tuturnya.

Menjaga "Jodhang" Warisan Leluhur

Di sudut los utara Pasar Wonosari, Titik Marwati (58) duduk tenang di belakang sebuah wadah kayu berbentuk persegi panjang yang disebut "jodhang".

Wadah ini bukan sekadar tempat menyimpan makanan, tetapi juga simbol warisan leluhur yang masih dilestarikan hingga kini. Di dalamnya, berbagai macam hidangan tertata rapi, siap dibagikan dalam rangkaian tradisi Nyadran Pasar.

Titik tidak sendiri. Ia duduk bersama warga perempuan lainnya, semua membawa jodhang berisi makanan yang nantinya akan disantap bersama. 

Bagi Titik, jodhang yang ia gunakan bukan sekadar wadah biasa. Ia telah memilikinya sejak lama, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi.

"Ini namanya jodhang. Ini sudah lama sekali, sejak simbah buyut saya. Jodhang ini turun-temurun dan masih bisa dipakai," tutur Titik, sembari mengusap permukaan kayu jodhang miliknya.

Baca juga: Tradisi Nyadran Dam Bagong Trenggalek, Larung Kepala Kerbau Bule sebagai Wujud Syukur

Jodhang ini terbuat dari papan kayu, dan di masa lalu biasanya menggunakan kayu jati agar lebih awet.

Sebagai bentuk perawatan, setelah digunakan, jodhang akan disimpan kembali dengan tambahan kapur barus agar tetap terjaga kualitasnya.

"Ini milik pribadi, keluarga. Biasanya kalau sudah selesai acara ya disimpan lagi. Biasanya agar awet saat disimpan itu diberi kapur barus," ucapnya.

Warga memikul jodhang--peti kayu--yang ditutup kain, berisi makanan untuk tradisi Nyadran Pasar di Padukuhan Saren, Kalurahan Wedomartani, Kapanewon Ngemplak, Kabupaten Sleman, Rabu (19/2/2025).KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA Warga memikul jodhang--peti kayu--yang ditutup kain, berisi makanan untuk tradisi Nyadran Pasar di Padukuhan Saren, Kalurahan Wedomartani, Kapanewon Ngemplak, Kabupaten Sleman, Rabu (19/2/2025).

Lebih dari Sekadar Wadah, Jodhang Punya Makna Filosofis

Bagi Titik, mempertahankan penggunaan jodhang bukan hanya soal kebiasaan, tetapi juga bentuk pelestarian budaya. Selain memiliki nilai historis, jodhang juga lebih praktis karena dapat menampung banyak makanan dalam satu wadah.

"Di samping sudah turun-temurun, dari awal memang pakai jodhang. Ini kan muat banyak, jadi membawa makanannya mudah," katanya.

Baca juga: Mengenal Tradisi Nyekar atau Nyadran di Lumajang

Makanan yang dibawa pun beragam, ada yang dimasak sendiri dan ada pula yang dibeli. Setiap keluarga membawa makanan sesuai kemampuan mereka, mencerminkan nilai kebersamaan dalam tradisi Nyadran Pasar.

"Makanan seperti nasi, lauk itu saya masak sendiri, kalau jajanan pasar beli. Jaman dulu makanan masak sendiri semua dan dari hasil kebun," ujar Titik.

Sejak kecil, Titik telah menjadi bagian dari Nyadran Pasar. Kini, meski ia telah menetap di desa lain mengikuti suaminya, acara ini tetap menjadi agenda wajib baginya setiap tahun.

"Saya kan ikut suami, ibu saya yang masih tinggal di sini. Saya pasti meluangkan waktu untuk acara ini," pungkasnya dengan senyum penuh kebanggaan.

Baca juga: Nyadran di Suroloyo: Tradisi, Identitas, dan Kepedulian Lingkungan

Nyadran Pasar bukan hanya soal berbagi makanan, tetapi juga tentang merawat nilai-nilai leluhur dan mempererat tali silaturahmi antarwarga.

Dan di antara semua elemen tradisi yang masih bertahan, jodhang tetap menjadi simbol yang membawa jejak masa lalu ke dalam kehidupan hari ini.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:


Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau