Wolbachia ini juga teknologi yang cost efektif. Sebab hanya sekali rilis dan setelah itu akan bekerja sepenuhnya untuk melindungi populasi yang ada di lokasi tersebut.
Baca juga: Waspada Demam Berdarah Dengue, Kenali Gejala dan Ciri-cirinya!
Menurut Donnie, sampai dengan saat ini tidak ada bukti nyamuk ber-Wolbachia berdampak pada ekologis.
"Kalau kemudian dianggap menganggu ekologis, pertama bahwa tidak ada bukti. Kemudian dia (Wolbachia) ini memang 50 sampai 60 persen serangga itu punya Wolbachia dan ini juga kemudian tidak ada gangguan ekologis apa pun," tandasnya.
Teknologi Wolbachia imbuhnya, juga efektif dalam pembiayaan. Sebab hanya dengan sekali pelepasan.
"Yang lebih menarik lagi kan Wolbachia ini diturunkan ke generasi berikutnya dari nyamuk yang ber-Wolbachia. Jadi teknologi ini menjadi sesuatu teknologi yang kita bilang cost afektif karena hanya sekali rilis dan dia akan berkerja selamanya untuk melindungi populasi yang ada di situ," ungkapnya.
Baca juga: INFOGRAFIK: Cara Pencegahan dan Mengobati Demam Berdarah Dengue (DBD)
Dijelaskannya, penelitian mengenai teknologi nyamuk ber- Wolbachia dimulai pada 2011. Penelitian dilakukan secara bertahap. Sebab penelitian dilakukan dengan prinsip penuh kehati-hatian.
Penelitian bertahap tersebut dari fase kelayakan dan keamanan, fase pelepasan skala terbatas, fase pelepasan skala luas hingga fase implementasi.
Fase pelepasan skala terbatas dilakukan pada 2014-2015 di empat padukuhan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Di Kabupaten Sleman dilakukan di Kronggahan dan Nogotirto. Sedangkan di Kabupaten Bantul itu di Jomblangan dan Singosaren.
Rilis terbatas itu untuk melihat apakah nyamuk yang ber-Wolbachia itu bisa bertahan hidup di alam.
Alasan empat padukuhan tersebut dipilih karena lokasinya secara geografis terisolir. Di sekeliling lokasi tersebut terdapat bentangan-bentangan sawah atau perkebunan yang membatasi dengan komunitas lain. Selain itu pelepasan tersebut juga lebih dulu dengan meminta persetujuan warga.
"Di situ ternyata pertama objektifnya berhasil nyamuknya tetap bisa berkembang biak. Ketika dites ya masih tetap tidak menyebabkan virusnya bisa bereplikasi," ucapnya.
Baca juga: Demam Berdarah Dengue, Ini Gejala hingga Pengobatan DBD
Ilustrasi nyamuk penyebab DBD. Serangan DBD dimulai 3-7 hari setelah timbulnya penyakit. Sakit perut yang parah dan nyeri tekan bisa muncul sebagai tanda peringatan DBD.
Donnie menuturkan, selama sekitar dua tahun, dari hasil pengamatan di empat padukuhan tersebut tidak ditemukan satu pun kasus transmisi lokal. Meskipun ada kasus demam berdarah, itu bukan transmisi lokal.
"Ada orang kena tapi karena di luar, tapi begitu kena dia tidak menularkan ke sekelilingnya, karena kami setiap hari staf kami itu keliling kampung untuk mencari orang yang demam, kalau ada yang demam kemudian kita tes dan kalau positif sekelilingnya kita lihat lagi," ungkapnya.
"Itu fase ke dua, tapi itu kan bukan bukti ilmiah karena sangat kecil. Sehingga kami melanjutkan ke fase ke tiga, di mana benar-benar untuk melihat secara klinis," imbuhnya.
Di fase ketiga ini, dilakukan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di separuh kota Yogyakarta dan di Sewon, Kabupaten Bantul. Namun pelepasanya dilakukan secara acak.
"Kita membagi menjadi 24 klaster, lebih kurang per klaster luasnya itu sekitar 1 kiloan," urainya.
Baca juga: Benarkah Jus Daun Pepaya Mentah Bisa Obati DBD?
Kemudian pelepasan dilakukan di 12 klaster. Sedangkan 12 klaster lagi tidak dilakukan pelepasan. Setelah pelepasan dilakukan pengamatan selama dua tahun lebih.
"Dari dua tahun lebih kami melakukan penelitian setelah kita lepasi, ternyata kita melihat bahwa di wilayah yang mendapatkan intervensi Wolbachia ada penurunan kasus Degue hingga 77 persen. Yang menarik juga, di tempat yang dilepasi Wolbachia angka hospitalisasinya juga lebih rendah 86 persen," tegasnya.
Donnie menyampaikan, sebelum trial di lapangan ada penilain resiko dari 25 ahli independen di Indonesia. Sebanyak 25 ahli itu dari berbagai macam bidang keahlian, antara lain ada entomologi, virologi, Kesehatan Masyarakat, epidemologi hingga sampai hukum, sosial serta ekonomi.
"Jadi 25 ahli itu diminta untuk mengidentifikasi kira-kira dampak buruk apa saja yang mungkin bisa terjadi dan kemudian berdasarkan literatur maupun pengalaman keahlian mereka, bagimana potensi resikonya," ucapnya.
Setelah melakukan asesmen, puluhan ahli tersebut menyimpulkan bahwa resiko dari teknologi nyamuk ber-Wolbachia ini negligible atau risiko sangat kecil yang dapat diabaikan.
"25 ahli itu menyimpulkan negligible, penilian risiko paling kecil. Itu yang mereka simpulkan, karena baik secara ekologi, ekonomi dan sebagainya itu hasil dari asesmen itu resikonya sangat kecil sehingga bisa kita abaikan," tegasnya.
Baca juga: Melihat Cara Singapura Mengatasi Wabah DBD...
Diungkapkannya dampak positif dari teknologi nyamuk ber-Wolbachia ini multilevel. Tidak hanya mengurangi potensi penularan demam berdarah, tetapi hospitalisasinya rendah hingga menghemat biaya. Misalnya di Kota Yogyakarta dapat mengurangi biaya pengeluaran untuk fogging nyamuk.
"Ketika kita tidak menggunakan fogging itu kan kita tidak mencemari lingkungan, tidak hanya asapnya tapi akumulasi racunya juga. Jadi memang menurut kami justru (teknologi nyamuk ber-Wolbachia) berdampak positif pada ekologi, karena kemudian kita juga lebih environmentally friendly," tandasnya.
Donnie mengaskan, penelitian teknologi nyamuk ber-Wolbachia sudah selesai. Sehingga saat ini bukan lagi fase penelitian.
"Kan sudah bukan fase penelitian. Mungkin orang terjebak dalam diksi uji pilot dan itu dianggap sebagai penelitian. Uji pilot ini kan mencoba mengimplementasikan secara baik dan benar seperti apa. Jadi ini bukan masalah mau membuktikan keberhasilanya, tapi bagaimana pemerintah program degue itu bisa punya modal implementasi yang ideal," pungkasnya.
Baca juga: Virus Corona, Wabah Demam Berdarah, dan Analisis Para Ahli...
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang