"Awal itu tahun 2014, sejauh ini belum ada keluhan warga," ucapnya.
Sepengetahuan Suci, setelah penyebaran nyamuk ber-Wolbachia, sampai dengan saat ini tidak ada kasus demam berdarah. Kalaupun ada kasus, itu bukan berasal dari penularan lokal di Kronggahan.
"Sekarang aman, kalau misalnya ada kasus demam berdarah itu orangnya habis dari berpergian ke mana. Kan itu di-tracing," tandasnya.
Baca juga: Warga Bandung Minta Pemerintah Lepas Nyamuk Wolbachia di Rumah Menkes
Sementara itu, Kepala Dukuh Kronggahan II, Kalurahan Trihanggo, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman Anto Sudadi menceritakan pertama kali pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di wilayahnya pada 22 Januari 2014.
"Waktu itu di Kronggahan kan sifatnya masih penelitian, belum istilahnya ke masyarakat yang lain," ungkapnya.
Sebelum pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di wilayah Kronggahan, masyarakat lebih dulu mendapatkan sosialiasi secara intensif. Sosialisasi itu mulai dari tingkat Rukun Warga (RW), kemudian Rukun Tetangga (RT), hingga PKK dan para kader Posyandu.
Bahkan sosialisasi juga dilakukan di sejumlah kelompok kegiatan, mulai dari kelompok ternak hingga kelompok tani yang ada di Kronggahan.
"Jadi itu sudah disosialisasikan sejak 2011 dan baru dilepaskan 2014. Pada waktu itu belum ada kata-kata mau menyebarkan nyamuk ber-Wolbachia, intinya ada kegiatan tentang kesehatan, penelitian tentang nyamuk, dan sebagainya," tuturnya.
"Di awal 2014 itu sudah mulai mau dilepaskan, sehingga masyarakat sudah tahu persis apa yang dimaksud dengan nyamuk ber-Wolbachia itu," imbuhnya.
Diakuinya, pada awalnya ada warga yang protes terkait dengan penyebaran nyamuk ber-Wolbachia. Dirinya melihat hal itu wajar, karena warga tersebut memang tidak ikut dalam sosialisasi.
"Awal dulu yang protes itu yang tidak ikut sosialisasi, dia protesnya nyamuknya saja banyak kok malah mau dilepas lagi. Itu kita gampang menjelaskannya dari A sampai Z, dia paham," tuturnya.
"Pada waktu itu kalau tidak mau (tempatnya menjadi lokasi) pelepasan nyamuk, ya tidak di lepas di situ. Jadi hanya warga yang menandatangani persetujuan saja," ungkapnya.
Anto menceritakan, Kronggahan masuk di wilayah Kalurahan Trihanggo, Kapanewon Gamping. Dahulu Kalurahan Trihanggo menjadi salah satu wilayah yang kasus DBD-nya cukup tinggi.
"Trihanggo itu termasuk paling sering, paling tinggi terjadi kasus Demam Berdarah pada waktu itu. Di Kronggahan termasuk wilayah endemi, sering sekali kasus DBD dulu, bahkan ada beberapa kasus meninggal," tuturnya.
Baca juga: 7 Ciri-ciri Demam Berdarah, Apa Saja?
Petugas sedang melakukan fogging di Desa Pajawan Kidul, Kecamatan Lebakwangi, Kabupaten Kuningan, Jumat (19/4/2024) siang. Gerakan Fogging serentak di 32 kecamatan yang digalakan Bupati Kabupaten Kuningan sebagai antisipasi dari meningkatnya jumlah pasien DBD tahun ini, hingga melebihi tahun 2023.Diungkapkan Anto, perkembangan di Kronggahan cukup bagus sejak pelepasan pertama nyamuk ber-Wolbachia pada 2014 silam. Bahkan pada 2016 sudah mencapai 90 persen.
"Tiga bulan pertama itu sudah mulai berkembang artinya nyamuk-nyamuk ber-Wolbachia itu kawin dengan nyamuk yang ada di Kronggahan, ya mencapai 30 persen, 40 persen, sampai 50 persen dan terakhir itu tahun 2016 itu sudah mencapai hampir 90 persen," tandasnya.
Menurutnya, kasus demam berdarah di wilayahnya jauh menurun dibandingkan sebelum ada nyamuk ber Wolbachia. Bahkan sejauh ini tidak ada kasus demam berdarah yang berasal dari penularan lokal Kronggahan.
"Alhamdulilah di Kronggahan tidak ada penularan, kasus tetap ada cuman setelah di-tracing, ternyata dapatnya dari luar. Hampir boleh dikata tidak ada penularan, termasuk kasus secara umum penurunanya luar biasa," ucapnya.
Baca juga: Demam Berdarah Dengue, Ini Gejala hingga Pengobatan DBD
Anto mengakui, penyebaran nyamuk ber-Wolbachia terbilang sukses untuk menekan kasus demam berdarah di wilayahnya. Berkaca dari pengalamannya, nyamuk ber-Wolbachia juga aman artinya tidak berdampak negatif.
Dari 2014 hingga saat ini pun tidak ada warga yang mengeluhkan terkait dampak negatif dari penyebaran nyamuk ber-Wolbachia.
"Aman, aman. Sampai saat ini aman. Berarti kalau (pertama kali penyebaran) 2014, artinya kan sudah 10 tahun," tegasnya.
Diketahui, penelitian teknologi Wolbachia di Indonesia dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta dengan dukungan Yayasan filantropi Tahija. Kajian soal nyamuk dengan teknologi wolbachia telah dilakukan sejak 2011.
Peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota peneliti dari riset nyamuk ber-Wolbachia Riris Andono Ahmad menjelaskan, wolbachia merupakan bakteri yang hidup di dalam sel tubuh serangga. Berdasarkan literature, ada sekitar 50 persen hingga 60 persen spesies serangga itu memiliki wolbachia.
Sehingga Wolbachia merupakan bakteri alami yang memang ada di sel tubuh serangga dan tidak menyebabkan apapun di dalam tubuh serangga.
"Ibaratnya seperti kita punya bakteri yang ada di dalam tubuh kita, yang hidup tidak mengganggu kita. Di dalam saluran pencernaan kita banyak macam-macam bakteri. Bahkan kita sering minum bakteri kalau kita minum pro biotik," kata dia.
Baca juga: Studi: Demam Berdarah Buat Seseorang Punya Kekebalan Terhadap Covid-19
Cara kerja nyamuk wolbachia untuk mengatasi virus dengue diawali dengan memasukkan bakteri wolbachia ke dalam telur Aedes aegypti ini. Diungkapkan Donnie, begitu dia akrab disapa, ada peneliti yang menemukan ketika wolbachia ada di dalam sel tubuh nyamuk Aedes adidepty dapat mem-block replikasi virus degue. Hal itu membuat virus degue tidak berkembang biak di dalam sel tubuh nyamuk.
"Wolbachia itu seperti vaksin bagi nyamuknya tadi. Karena virusnya tidak bisa berkembang biak di tubuh nyamuk, maka si nyamuk itu kalau pun dia gigit orang yang sedang teriveksi dia tidak mampu lagi menularkan," urainya.