YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Demam berdarah dengue (DBD) menjadi salah satu dari tiga penyakit endemi di Indonesia.
Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yakni dengan inovasi penanganan DBD menggunakan nyamuk Wolbachia.
Kendati demikian, penyebaran nyamuk Wolbachia di Bandung, Jawa Barat menuai protes dari puluhan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Nyamuk.
Jauh sebelum itu, sejumlah wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah menjadi lokasi penyebaran nyamuk Wolbachia mulai dari Kabupaten Bantul, Kabupten Sleman, dan Kota Yogyakarta.
Diketahui, nyamuk wolbachia adalah sebutan untuk nyamuk yang membawa bakteri wolbachia. Bakteri ini dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, sehingga membantu mengatasi penularan penyakit DBD.
Baca juga: Kasus DBD di Klaten Capai 204 Kasus, 14 Meninggal Dunia
Penyebaran nyamuk Wolbachia tersebut sukses menekan angka kasus demam berdarah dengue (DBD) dan tidak ditemukan dampak negatif.
Di wilayah Kabupaten Sleman yang menjadi lokasi penyebaran nyamuk ber-Wolbachia salah satunya di Dusun Kronggahan, Kalurahan Trihanggo, Kapanewon Gamping, Sleman, DIY.
Salah satu warga Kronggahan, Yati (32) mengatakan, penyebaran nyamuk Wolbachia seingatnya dilakukan sebelum 2015.
Sebelum itu, dirinya bersama warga lain mendapatkan sosialisasi terkait dengan nyamuk ber-Wolbachia.
"Kurang lebih sebelum 2015, saya agak lupa, udah lama banget soalnya. Pertama itu ada sosialisasi dulu. Setelah itu, warga pada setuju," ujarnya saat ditemui di rumahnya, Sabtu (20/4/2024).
Baca juga: Kasus DBD di Solo Meningkat, 45 Kasus di 2024, 2 Meninggal
Baca juga: Kasus DBD Capai Ratusan, Stok Abate di Gunungkidul Habis
Yati mengungkapkan saat itu rumahnya menjadi salah satu tempat yang dititipi ember berisi telur nyamuk Wolbachia. Ember tersebut oleh petugas secara rutin dilakukan pengecekan.
"Ember, terus ada petugas yang datang terus ditaruh di tempat lembab. Nanti setiap dua minggu kalau enggak salah itu pasti dicek, dilihat ada jentik-jentiknya apa nggak," bebernya.
Diakui Yati, sebagai masyarakat awam tentu awalnya penuh dengan pertanyaan terkait dengan nyamuk ber-Wolbachia.
Selain itu dirinya juga sempat juga muncul rasa takut dengan dampak nyamuk ber-Wolbachia.
"Ya awalnya sempat takut, nanti kalau gimana, gimana. Kalau ditambahi nyamuk, terus apa benar-benar bisa mengurangi DB? Ya, kalau berhasil, kalau nggak? terus jadi penyakit, terus gimana?. Itu dulu awal-awalnya," ucapnya.
Baca juga: 90 Warga Jateng Meninggal akibat DBD pada 2024, Berikut Perincian Daerahnya...
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pun terjawab saat sosialisasi. Sehingga Yati pun setuju dengan penyebaran nyamuk ber-Wolbachia.
"Alhamdulilah warga pada setuju setelah mendengar sosialisasi," katanya lagi.
Yati mengaku merasakan hal positif dari penyebaran nyamuk ber- Wolbachia pada sebelum 2015 silam. Sebab saat ini, dirinya tidak mendengar ada kasus demam berdarah di wilayah tempat tinggalnya.
"Ya, dampaknya positif, kasus (kasus demam berdarah) turun banyak. Daerah Kronggahan sini aman dari demam berdarah," tegasnya.
Di sisi lain, menurut Yati, sampai saat ini tidak mendengar keluhan warga terkait dampak negatif dari nyamuk ber-Wolbachia.
"Aman, walaupun gigit. Ya sampai sekarang aman saja," kata dia.
Baca juga: Kasus DBD di Sikka Bertambah Jadi 241 Orang dan 27 di Antaranya Dirawat
Edukasi masyarakat terkait nyamuk ber-wolbachia.Salah satu warga Kronggahan lainnya, Suci menuturkan, dahulu ada banyak kasus demam berdarah di sekitar tempat tinggalnya.
Salah satunya adalah suaminya sendiri. Saat itu suaminya harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit.
"Tahun 2010, suami saya kena demam berdarah, pulang kerja badanya panas. Dibawa ke rumah sakit, itu trombositnya turun. Sampai rawat inap, ya Alhamdulilah kondisinya membaik dan boleh pulang," tutur Suci saat ditemui di rumahnya.
Pengalaman itulah yang kemudian melatarbelakangi Suci setuju dengan penyebaran nyamuk ber- Wolbachia. Sama halnya dengan tetanggaya Yati, pada awalnya Suci juga mengaku takut. Sebab dirinya belum mengetahui soal nyamuk ber-Wolbachia termasuk soal aman atau tidaknya.
"Ya, awalnya yo takut tho, tapi kan dari pihak sana kan sosialisasi. Terus sedikit-sedikit nggak takut lagi," ungkapnya.
Baca juga: Demam Berdarah Dengue di Banjarmasin Meningkat, Dinkes Catat 30 Kasus hingga Akhir Juli 2022
Bahkan Suci dan beberapa warga pernah diajak ke laboratorium di UGM untuk melihat langsung dan dijelaskan soal nyamuk Wolbachia.
"Dulu itu pernah diajak ke sana, ke laboratorium, di sana dijelaskan soal Wolbachia, terus melihat pakai mikroskop juga," tuturnya.
Menurut Suci sampai saat ini tidak ada warga yang mengeluhkan adanya dampak bagi kesehatan setelah digigit nyamuk ber-Wolbachia.
"Awal itu tahun 2014, sejauh ini belum ada keluhan warga," ucapnya.
Sepengetahuan Suci, setelah penyebaran nyamuk ber-Wolbachia, sampai dengan saat ini tidak ada kasus demam berdarah. Kalaupun ada kasus, itu bukan berasal dari penularan lokal di Kronggahan.
"Sekarang aman, kalau misalnya ada kasus demam berdarah itu orangnya habis dari berpergian ke mana. Kan itu di-tracing," tandasnya.
Baca juga: Warga Bandung Minta Pemerintah Lepas Nyamuk Wolbachia di Rumah Menkes
Ilustrasi teknologi nyamuk wolbachia, kenali manfaat nyamuk wolbachia dan cara kerja nyamuk wolbachia dalam mengendalikan penyakit DBD.
Sementara itu, Kepala Dukuh Kronggahan II, Kalurahan Trihanggo, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman Anto Sudadi menceritakan pertama kali pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di wilayahnya pada 22 Januari 2014.
"Waktu itu di Kronggahan kan sifatnya masih penelitian, belum istilahnya ke masyarakat yang lain," ungkapnya.
Sebelum pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di wilayah Kronggahan, masyarakat lebih dulu mendapatkan sosialiasi secara intensif. Sosialisasi itu mulai dari tingkat Rukun Warga (RW), kemudian Rukun Tetangga (RT), hingga PKK dan para kader Posyandu.
Bahkan sosialisasi juga dilakukan di sejumlah kelompok kegiatan, mulai dari kelompok ternak hingga kelompok tani yang ada di Kronggahan.
"Jadi itu sudah disosialisasikan sejak 2011 dan baru dilepaskan 2014. Pada waktu itu belum ada kata-kata mau menyebarkan nyamuk ber-Wolbachia, intinya ada kegiatan tentang kesehatan, penelitian tentang nyamuk, dan sebagainya," tuturnya.
"Di awal 2014 itu sudah mulai mau dilepaskan, sehingga masyarakat sudah tahu persis apa yang dimaksud dengan nyamuk ber-Wolbachia itu," imbuhnya.
Diakuinya, pada awalnya ada warga yang protes terkait dengan penyebaran nyamuk ber-Wolbachia. Dirinya melihat hal itu wajar, karena warga tersebut memang tidak ikut dalam sosialisasi.
"Awal dulu yang protes itu yang tidak ikut sosialisasi, dia protesnya nyamuknya saja banyak kok malah mau dilepas lagi. Itu kita gampang menjelaskannya dari A sampai Z, dia paham," tuturnya.
"Pada waktu itu kalau tidak mau (tempatnya menjadi lokasi) pelepasan nyamuk, ya tidak di lepas di situ. Jadi hanya warga yang menandatangani persetujuan saja," ungkapnya.
Anto menceritakan, Kronggahan masuk di wilayah Kalurahan Trihanggo, Kapanewon Gamping. Dahulu Kalurahan Trihanggo menjadi salah satu wilayah yang kasus DBD-nya cukup tinggi.
"Trihanggo itu termasuk paling sering, paling tinggi terjadi kasus Demam Berdarah pada waktu itu. Di Kronggahan termasuk wilayah endemi, sering sekali kasus DBD dulu, bahkan ada beberapa kasus meninggal," tuturnya.
Baca juga: 7 Ciri-ciri Demam Berdarah, Apa Saja?
Petugas sedang melakukan fogging di Desa Pajawan Kidul, Kecamatan Lebakwangi, Kabupaten Kuningan, Jumat (19/4/2024) siang. Gerakan Fogging serentak di 32 kecamatan yang digalakan Bupati Kabupaten Kuningan sebagai antisipasi dari meningkatnya jumlah pasien DBD tahun ini, hingga melebihi tahun 2023.Diungkapkan Anto, perkembangan di Kronggahan cukup bagus sejak pelepasan pertama nyamuk ber-Wolbachia pada 2014 silam. Bahkan pada 2016 sudah mencapai 90 persen.
"Tiga bulan pertama itu sudah mulai berkembang artinya nyamuk-nyamuk ber-Wolbachia itu kawin dengan nyamuk yang ada di Kronggahan, ya mencapai 30 persen, 40 persen, sampai 50 persen dan terakhir itu tahun 2016 itu sudah mencapai hampir 90 persen," tandasnya.
Menurutnya, kasus demam berdarah di wilayahnya jauh menurun dibandingkan sebelum ada nyamuk ber Wolbachia. Bahkan sejauh ini tidak ada kasus demam berdarah yang berasal dari penularan lokal Kronggahan.
"Alhamdulilah di Kronggahan tidak ada penularan, kasus tetap ada cuman setelah di-tracing, ternyata dapatnya dari luar. Hampir boleh dikata tidak ada penularan, termasuk kasus secara umum penurunanya luar biasa," ucapnya.
Baca juga: Demam Berdarah Dengue, Ini Gejala hingga Pengobatan DBD
Anto mengakui, penyebaran nyamuk ber-Wolbachia terbilang sukses untuk menekan kasus demam berdarah di wilayahnya. Berkaca dari pengalamannya, nyamuk ber-Wolbachia juga aman artinya tidak berdampak negatif.
Dari 2014 hingga saat ini pun tidak ada warga yang mengeluhkan terkait dampak negatif dari penyebaran nyamuk ber-Wolbachia.
"Aman, aman. Sampai saat ini aman. Berarti kalau (pertama kali penyebaran) 2014, artinya kan sudah 10 tahun," tegasnya.
Diketahui, penelitian teknologi Wolbachia di Indonesia dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta dengan dukungan Yayasan filantropi Tahija. Kajian soal nyamuk dengan teknologi wolbachia telah dilakukan sejak 2011.
Peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota peneliti dari riset nyamuk ber-Wolbachia Riris Andono Ahmad menjelaskan, wolbachia merupakan bakteri yang hidup di dalam sel tubuh serangga. Berdasarkan literature, ada sekitar 50 persen hingga 60 persen spesies serangga itu memiliki wolbachia.
Sehingga Wolbachia merupakan bakteri alami yang memang ada di sel tubuh serangga dan tidak menyebabkan apapun di dalam tubuh serangga.
"Ibaratnya seperti kita punya bakteri yang ada di dalam tubuh kita, yang hidup tidak mengganggu kita. Di dalam saluran pencernaan kita banyak macam-macam bakteri. Bahkan kita sering minum bakteri kalau kita minum pro biotik," kata dia.
Baca juga: Studi: Demam Berdarah Buat Seseorang Punya Kekebalan Terhadap Covid-19
Cara kerja nyamuk wolbachia untuk mengatasi virus dengue diawali dengan memasukkan bakteri wolbachia ke dalam telur Aedes aegypti ini. Diungkapkan Donnie, begitu dia akrab disapa, ada peneliti yang menemukan ketika wolbachia ada di dalam sel tubuh nyamuk Aedes adidepty dapat mem-block replikasi virus degue. Hal itu membuat virus degue tidak berkembang biak di dalam sel tubuh nyamuk.
"Wolbachia itu seperti vaksin bagi nyamuknya tadi. Karena virusnya tidak bisa berkembang biak di tubuh nyamuk, maka si nyamuk itu kalau pun dia gigit orang yang sedang teriveksi dia tidak mampu lagi menularkan," urainya.
Wolbachia ini juga teknologi yang cost efektif. Sebab hanya sekali rilis dan setelah itu akan bekerja sepenuhnya untuk melindungi populasi yang ada di lokasi tersebut.
Baca juga: Waspada Demam Berdarah Dengue, Kenali Gejala dan Ciri-cirinya!
Menurut Donnie, sampai dengan saat ini tidak ada bukti nyamuk ber-Wolbachia berdampak pada ekologis.
"Kalau kemudian dianggap menganggu ekologis, pertama bahwa tidak ada bukti. Kemudian dia (Wolbachia) ini memang 50 sampai 60 persen serangga itu punya Wolbachia dan ini juga kemudian tidak ada gangguan ekologis apa pun," tandasnya.
Teknologi Wolbachia imbuhnya, juga efektif dalam pembiayaan. Sebab hanya dengan sekali pelepasan.
"Yang lebih menarik lagi kan Wolbachia ini diturunkan ke generasi berikutnya dari nyamuk yang ber-Wolbachia. Jadi teknologi ini menjadi sesuatu teknologi yang kita bilang cost afektif karena hanya sekali rilis dan dia akan berkerja selamanya untuk melindungi populasi yang ada di situ," ungkapnya.
Baca juga: INFOGRAFIK: Cara Pencegahan dan Mengobati Demam Berdarah Dengue (DBD)
Dijelaskannya, penelitian mengenai teknologi nyamuk ber- Wolbachia dimulai pada 2011. Penelitian dilakukan secara bertahap. Sebab penelitian dilakukan dengan prinsip penuh kehati-hatian.
Penelitian bertahap tersebut dari fase kelayakan dan keamanan, fase pelepasan skala terbatas, fase pelepasan skala luas hingga fase implementasi.
Fase pelepasan skala terbatas dilakukan pada 2014-2015 di empat padukuhan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Di Kabupaten Sleman dilakukan di Kronggahan dan Nogotirto. Sedangkan di Kabupaten Bantul itu di Jomblangan dan Singosaren.
Rilis terbatas itu untuk melihat apakah nyamuk yang ber-Wolbachia itu bisa bertahan hidup di alam.
Alasan empat padukuhan tersebut dipilih karena lokasinya secara geografis terisolir. Di sekeliling lokasi tersebut terdapat bentangan-bentangan sawah atau perkebunan yang membatasi dengan komunitas lain. Selain itu pelepasan tersebut juga lebih dulu dengan meminta persetujuan warga.
"Di situ ternyata pertama objektifnya berhasil nyamuknya tetap bisa berkembang biak. Ketika dites ya masih tetap tidak menyebabkan virusnya bisa bereplikasi," ucapnya.
Baca juga: Demam Berdarah Dengue, Ini Gejala hingga Pengobatan DBD
Ilustrasi nyamuk penyebab DBD. Serangan DBD dimulai 3-7 hari setelah timbulnya penyakit. Sakit perut yang parah dan nyeri tekan bisa muncul sebagai tanda peringatan DBD.
Donnie menuturkan, selama sekitar dua tahun, dari hasil pengamatan di empat padukuhan tersebut tidak ditemukan satu pun kasus transmisi lokal. Meskipun ada kasus demam berdarah, itu bukan transmisi lokal.
"Ada orang kena tapi karena di luar, tapi begitu kena dia tidak menularkan ke sekelilingnya, karena kami setiap hari staf kami itu keliling kampung untuk mencari orang yang demam, kalau ada yang demam kemudian kita tes dan kalau positif sekelilingnya kita lihat lagi," ungkapnya.
"Itu fase ke dua, tapi itu kan bukan bukti ilmiah karena sangat kecil. Sehingga kami melanjutkan ke fase ke tiga, di mana benar-benar untuk melihat secara klinis," imbuhnya.
Di fase ketiga ini, dilakukan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di separuh kota Yogyakarta dan di Sewon, Kabupaten Bantul. Namun pelepasanya dilakukan secara acak.
"Kita membagi menjadi 24 klaster, lebih kurang per klaster luasnya itu sekitar 1 kiloan," urainya.
Baca juga: Benarkah Jus Daun Pepaya Mentah Bisa Obati DBD?
Kemudian pelepasan dilakukan di 12 klaster. Sedangkan 12 klaster lagi tidak dilakukan pelepasan. Setelah pelepasan dilakukan pengamatan selama dua tahun lebih.
"Dari dua tahun lebih kami melakukan penelitian setelah kita lepasi, ternyata kita melihat bahwa di wilayah yang mendapatkan intervensi Wolbachia ada penurunan kasus Degue hingga 77 persen. Yang menarik juga, di tempat yang dilepasi Wolbachia angka hospitalisasinya juga lebih rendah 86 persen," tegasnya.
Donnie menyampaikan, sebelum trial di lapangan ada penilain resiko dari 25 ahli independen di Indonesia. Sebanyak 25 ahli itu dari berbagai macam bidang keahlian, antara lain ada entomologi, virologi, Kesehatan Masyarakat, epidemologi hingga sampai hukum, sosial serta ekonomi.
"Jadi 25 ahli itu diminta untuk mengidentifikasi kira-kira dampak buruk apa saja yang mungkin bisa terjadi dan kemudian berdasarkan literatur maupun pengalaman keahlian mereka, bagimana potensi resikonya," ucapnya.
Setelah melakukan asesmen, puluhan ahli tersebut menyimpulkan bahwa resiko dari teknologi nyamuk ber-Wolbachia ini negligible atau risiko sangat kecil yang dapat diabaikan.
"25 ahli itu menyimpulkan negligible, penilian risiko paling kecil. Itu yang mereka simpulkan, karena baik secara ekologi, ekonomi dan sebagainya itu hasil dari asesmen itu resikonya sangat kecil sehingga bisa kita abaikan," tegasnya.
Baca juga: Melihat Cara Singapura Mengatasi Wabah DBD...
Diungkapkannya dampak positif dari teknologi nyamuk ber-Wolbachia ini multilevel. Tidak hanya mengurangi potensi penularan demam berdarah, tetapi hospitalisasinya rendah hingga menghemat biaya. Misalnya di Kota Yogyakarta dapat mengurangi biaya pengeluaran untuk fogging nyamuk.
"Ketika kita tidak menggunakan fogging itu kan kita tidak mencemari lingkungan, tidak hanya asapnya tapi akumulasi racunya juga. Jadi memang menurut kami justru (teknologi nyamuk ber-Wolbachia) berdampak positif pada ekologi, karena kemudian kita juga lebih environmentally friendly," tandasnya.
Donnie mengaskan, penelitian teknologi nyamuk ber-Wolbachia sudah selesai. Sehingga saat ini bukan lagi fase penelitian.
"Kan sudah bukan fase penelitian. Mungkin orang terjebak dalam diksi uji pilot dan itu dianggap sebagai penelitian. Uji pilot ini kan mencoba mengimplementasikan secara baik dan benar seperti apa. Jadi ini bukan masalah mau membuktikan keberhasilanya, tapi bagaimana pemerintah program degue itu bisa punya modal implementasi yang ideal," pungkasnya.
Baca juga: Virus Corona, Wabah Demam Berdarah, dan Analisis Para Ahli...
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang