Dari hasil riset yang pernah dilakukanya, para pelajar mendapatkan ide self harm dari melihat media sosial maupun melihat temanya. Selain itu, para pelajar melakukan melakukan self harm saat merasakan stres, capek dan cemas.
Baca juga: Kondisi Murid SMP Gunungkidul yang Melukai Diri Kondisinya Sudah Membaik
"Jadi mereka itu sudah mempunyai kata-kata yang sangat mental health, kayak inferiority, kayak insecure. Itu sudah menjadi kalimat-kalimat anak sekarang," ungkapnya.
Novi melihat hal itu terjadi karena masalah kesehatan mental masih menjadi tantangan utama dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga persoalan yang muncul di sekolah-sekolah bukan masalah akademik tapi bullying ataupun geng sekolah.
"Intinya mental problem kita itu naik sebetulnya," tegasnya.
Diungkapkan Novi, WHO dari tahun 2010 sudah memprediksi bahwa masalah kesehatan mental di dunia bisa menjadi semacam pandemi baru dan harus dilakukan upaya mitigasi.
Maka dari itu, di negara maju, pendidikan baik di sekolah maupun di keluarga berorientasi pada wellbeing atau kebahagiaan anak-anak.
Sementara pendidikan di Indonesia saat ini masih beroriantasi pada akademik. Orientasi pada akademik ini, membuat kemampuan anak mengelola dan menyeleksi guyuran berbagai informasi di era digital menjadi terbatas karena tidak pernah dilatih di sekolah.
"Termasuk membuat keputusan, meregulasi diri kan nggak pernah dilatih di sekolah. Karena kiblatnya pendidikan Indonesia bukan di wellbeing, kiblatnya pendidikan Indonesia di akademik, literasi, nomerasi, sains," tuturnya.
Baca juga: UGM Akan Bentuk Satgas Kesehatan Mental
Di sisi lain dengan orientasi pada akademik, para guru juga tidak memiliki keterampilan untuk menghadapi persoalan-persoalan anak. Termasuk memitigasi persoalan-persoalan anak.
"Ini kan ilmu perkembangan dan psikologi seharusnya, tidak pernah digali itu. Sehingga anak-anak ini mencari sendiri. Misalnya kalau dia capek, capek banget, stres banget, caranya menyalurkan gimana itu kan nggak tahu mereka. Larinya ada agresivitas, ada depresi, cemas, sampai itu tadi melukai itu. Sehingga itu menjadi tren baru," tandasnya.
Diungkapkan Novi, anak-anak sekarang lebih cenderung lari dari masalah dan bukan mengelolanya.
"Anak-anak sekarang itu, kalimat healing itu kan biasa to. Dikit-dikit stres, dikit-dikit healing. Sebetulnya karena mereka tidak punya ruang atau skill meregulasi, tahunya healing itu pergi, pergi dari masalah itu, bukan mengelola masalahnya," urainya.
Menurutnya, sekolah perlu mengubah orientasi pendidikan ke arah wellbeing.
"Sekarang yang perlu diperhatikan ini bukan masalah literasi, nomerasinya. Yang perlu diperhatikan itu kondisi psikologis dan kesehatan mentalnya anak-anak kita. Karakternya ini yang menjadi persoalan," tegasnya.
Baca juga: Peringati HUT Ke-77 PGRI, Jokowi Minta Kesehatan Mental dan Jasmani Diutamakan demi SDM Unggul
Dari sisi guru juga harus lebih dulu diubah pola pikirnya. Dalam hal ini, pendidikan arahnya bukan untuk membuat murid pintar akademik. Namun pendidikan, untuk membuat manusia bermanfaat dan bahagia.