Salin Artikel

Puluhan Pelajar SMP di Gunungkidul Melukai Diri Sendiri, Ahli Psikologi UGM Ungkap Penyebabnya

"Kami memanggil pihak sekolah, dan mereka membenarkan kejadian itu," kata Kepala Dinas Pendidikan Gunungkidul, Nunuk Setyowati saat dihubungi kompas.com melalui telepon Kamis (7/3/2024).

Dari asesmen yang dilakukan pihak sekolah, ada tiga faktor penyebab anak-anak melukai diri sendiri. Di antaranya, kurang perhatian, dan tidak serumah dengan orangtuanya.

"Ketiga tren satu geng kalau tidak seperti itu (melukai diri sendiri) tidak bestie (berteman baik)," kata Nunuk.

Nunuk mengatakan, untuk mencegah kejadian serupa, melakukan sosialisasi kepada murid terkait bahaya self harm.

"Kita melakukan sosialisasi kepada murid terkait bahaya itu (self harm)," kata dia.

Sebelumnya Puluhan siswi SMP di Kapanewon Saptosari, Gunungkidul, DI Yogyakarta, melakukan tindakan menyakiti diri atau self harm pada bulan November 2023. Mereka mendapatkan pendampingan dari pihak puskesmas.

Dikatakannya, pihak sekolah pun sudah mengumpulkan para siswi yang melakukan self harm ini. 

Fenomena self harm

Peristiwa serupa ternyata juga terjadi di beberapa daerah, seperti di Magetan, Jawa Timur pada bulan Oktober 2023. Ada 76 siswa SMP yang juga kedapatan melukai diri sendiri karena tidak ada aktivitas, hanya ikut-ikutan teman, putus pacar hingga dirundung di lingkunganya.

Bahkan, di bulan yang sama, 11 SD di Kecamatan Situbondo, Jawa Timur juga kedapatan melukai tanganya sendiri akibat terpengaruh konten media sosial.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), T Novi Poespita Candra menyampaikan pandanganya terkait fenomena tersebut.

Novi mengatakan siswa menyakiti diri sendiri sudah menjadi fenomena. Sehingga peristiwa itu terjadi di beberapa daerah.

Novi menyampaikan self harm bagi siswa di hampir semua sekolah sudah menjadi hal yang biasa. Tidak hanya siswa di sekolah daerah pinggiran, tetapi juga sekolah daerah kota.

"Ya nggak semua sekolah, tapi misalnya saya turun ke sekolah-sekolah, mahasiswa saya turun ke sekolah-sekolah, tidak harus di Gunungkidul yang pinggir-pinggir, di kota itu mereka self harming itu udah kayak biasa, ada anak kelas empat SD," tuturnya.

Dari hasil riset yang pernah dilakukanya, para pelajar mendapatkan ide self harm dari melihat media sosial maupun melihat temanya. Selain itu, para pelajar melakukan melakukan self harm saat merasakan stres, capek dan cemas.

"Jadi mereka itu sudah mempunyai kata-kata yang sangat mental health, kayak inferiority, kayak insecure. Itu sudah menjadi kalimat-kalimat anak sekarang," ungkapnya.

Novi melihat hal itu terjadi karena masalah kesehatan mental masih menjadi tantangan utama dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga persoalan yang muncul di sekolah-sekolah bukan masalah akademik tapi bullying ataupun geng sekolah.

"Intinya mental problem kita itu naik sebetulnya," tegasnya.

Orientasi pendidikan harus diubah

Diungkapkan Novi, WHO dari tahun 2010 sudah memprediksi bahwa masalah kesehatan mental di dunia bisa menjadi semacam pandemi baru dan harus dilakukan upaya mitigasi.

Maka dari itu, di negara maju, pendidikan baik di sekolah maupun di keluarga berorientasi pada wellbeing atau kebahagiaan anak-anak.

Sementara pendidikan di Indonesia saat ini masih beroriantasi pada akademik. Orientasi pada akademik ini, membuat kemampuan anak mengelola dan menyeleksi guyuran berbagai informasi di era digital menjadi terbatas karena tidak pernah dilatih di sekolah.

"Termasuk membuat keputusan, meregulasi diri kan nggak pernah dilatih di sekolah. Karena kiblatnya pendidikan Indonesia bukan di wellbeing, kiblatnya pendidikan Indonesia di akademik, literasi, nomerasi, sains," tuturnya.

Di sisi lain dengan orientasi pada akademik, para guru juga tidak memiliki keterampilan untuk menghadapi persoalan-persoalan anak. Termasuk memitigasi persoalan-persoalan anak.

"Ini kan ilmu perkembangan dan psikologi seharusnya, tidak pernah digali itu. Sehingga anak-anak ini mencari sendiri. Misalnya kalau dia capek, capek banget, stres banget, caranya menyalurkan gimana itu kan nggak tahu mereka. Larinya ada agresivitas, ada depresi, cemas, sampai itu tadi melukai itu. Sehingga itu menjadi tren baru," tandasnya.

Diungkapkan Novi, anak-anak sekarang lebih cenderung lari dari masalah dan bukan mengelolanya. 

"Anak-anak sekarang itu, kalimat healing itu kan biasa to. Dikit-dikit stres, dikit-dikit healing. Sebetulnya karena mereka tidak punya ruang atau skill meregulasi, tahunya healing itu pergi, pergi dari masalah itu, bukan mengelola masalahnya," urainya.

Menurutnya, sekolah perlu mengubah orientasi pendidikan ke arah wellbeing. 

"Sekarang yang perlu diperhatikan ini bukan masalah literasi, nomerasinya. Yang perlu diperhatikan itu kondisi psikologis dan kesehatan mentalnya anak-anak kita. Karakternya ini yang menjadi persoalan," tegasnya.

Dari sisi guru juga harus lebih dulu diubah pola pikirnya. Dalam hal ini, pendidikan arahnya bukan untuk membuat murid pintar akademik. Namun pendidikan, untuk membuat manusia bermanfaat dan bahagia.

"Nah kalau pendidikan orientasinya itu, gimana caranya anak-anak itu merasa bermanfaat dan bahagia, jadi harus dimanusiakan," bebernya.

Sehingga guru harus lebih dulu memahami siswa dengan mengutamakan interaksi dan dialog. Novi mencontohkan, pagi sebelum pelajaran guru berinteraksi dan dialog dengan para siswa.

"Nah biasanya dari dialog-dialog itu setiap hari, itu lama-lama beban-beban siswa dan beban guru itu berkurang sebetulnya," tuturnya. 

Menurut Novi, tanpa disadari bahasa yang digunakan di pendidikan sifatnya menerintah atau instruksi. Bukan bahasa-bahasa yang membangun dialog. Kultur itulah, yang harus diubah sehingga terjadi interaksi dan dialog antara guru dengan anak.

Sehingga dengan diciptakan ruang interaksi dan dialog itu, sekolah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi anak.

"Pendidikan kita nggak punya kultur itu, bahkan sampai masyarakatnya, bahkan sampai keluarganya. Karena pendidikan ini harus mengubah kultur baru, menurut saya ya. Saya mempercayai namanya pendidikan itu adalah satu media tools untuk membuat kultur baru. Kultur baru yang harus diciptakan adalah dialog ini," tandasnya.

Kelelahan massal dan soal teknologi

Novi yang juga merupakan Pengamat Perkembangan Anak, Remaja dan Pendidikan mengatakan, saat ini terjadi kelelahan massal. Itu yang menyebabkan persoalan self harm menjadi masif.

"Karena pola kehidupan kita sama semua, kayak robot, tanpa sadar," ucap T Novi Poespita.

Novi menyampaikan saat ini tidak mungkin memusuhi teknologi karena sudah menjadi bagian dari hidup. Namun bagimana, manusia tetap menjadi "manusia" dan mengendalikan teknologi.

"Masyarakat Jepang itu mempunyai digital society plan, jadi gimana caranya manusia itu tetap menjadi 'manusia' dan mengendalikan teknologi. Dan melalui apa mereka membangun itu, melalui pendidikan," tandasnya.

Di Jepang lanjut Novi, anak diajari ketika sedang bersama keluarga atau orang yang lebih tua tidak boleh memegang device. Di Australia, anak-anak hanya boleh mempunyai device sendiri ketika sudah umur 13 tahun.

Artinya dari pendidikan itu, mereka menyiapkan dahulu pola fikir, pola prilaku, pola emosinya sebelum anak memiliki device sendiri.

Menurutnya, harus ada kesepakatan di keluarga dan di sekolah bahwa technology device hanya digunakan pada saat diperlukan. Kemudian lebih banyak, waktu digunakan untuk dialog dan berinterakasi.

"Rekomendasi yang paling utama adalah memperbanyak dialog, berinteraksi, baik di sekolah maupun di keluarga, karena biar kita tetap menjadi manusia. Kita bisa merasakan, kita bisa empati, kita bisa mengelola itu dengan interaksi dan dialog," ungkapnya.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2024/03/08/205144678/puluhan-pelajar-smp-di-gunungkidul-melukai-diri-sendiri-ahli-psikologi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke