Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puluhan Pelajar SMP di Gunungkidul Melukai Diri Sendiri, Ahli Psikologi UGM Ungkap Penyebabnya

Kompas.com - 08/03/2024, 20:51 WIB
Wijaya Kusuma,
Markus Yuwono,
Dita Angga Rusiana

Tim Redaksi

YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Dinas Pendidikan Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, mengatakan sudah memanggil pihak sekolah yang melakukan muridnya melakukan tindakan menyakiti diri sendiri atau self harm.

"Kami memanggil pihak sekolah, dan mereka membenarkan kejadian itu," kata Kepala Dinas Pendidikan Gunungkidul, Nunuk Setyowati saat dihubungi kompas.com melalui telepon Kamis (7/3/2024).

Dari asesmen yang dilakukan pihak sekolah, ada tiga faktor penyebab anak-anak melukai diri sendiri. Di antaranya, kurang perhatian, dan tidak serumah dengan orangtuanya.

"Ketiga tren satu geng kalau tidak seperti itu (melukai diri sendiri) tidak bestie (berteman baik)," kata Nunuk.

Baca juga: Puluhan Siswi SMP di Gunungkidul Melukai Diri, Penyebabnya Beragam

Nunuk mengatakan, untuk mencegah kejadian serupa, melakukan sosialisasi kepada murid terkait bahaya self harm.

"Kita melakukan sosialisasi kepada murid terkait bahaya itu (self harm)," kata dia.

Sebelumnya Puluhan siswi SMP di Kapanewon Saptosari, Gunungkidul, DI Yogyakarta, melakukan tindakan menyakiti diri atau self harm pada bulan November 2023. Mereka mendapatkan pendampingan dari pihak puskesmas.

Dikatakannya, pihak sekolah pun sudah mengumpulkan para siswi yang melakukan self harm ini. 

Fenomena self harm

Peristiwa serupa ternyata juga terjadi di beberapa daerah, seperti di Magetan, Jawa Timur pada bulan Oktober 2023. Ada 76 siswa SMP yang juga kedapatan melukai diri sendiri karena tidak ada aktivitas, hanya ikut-ikutan teman, putus pacar hingga dirundung di lingkunganya.

Bahkan, di bulan yang sama, 11 SD di Kecamatan Situbondo, Jawa Timur juga kedapatan melukai tanganya sendiri akibat terpengaruh konten media sosial.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), T Novi Poespita Candra menyampaikan pandanganya terkait fenomena tersebut.

Novi mengatakan siswa menyakiti diri sendiri sudah menjadi fenomena. Sehingga peristiwa itu terjadi di beberapa daerah.

"Sekarang ini sebenarnya kalau kita turun ke sekolah-sekolah umumnya kalau SD kelas atas sama SMP, melukai diri sendiri atau self harming atau bahkan bentuknya sudah seperti barcode. Nah itu sekarang sudah tidak menjadi case lagi tetapi sudah menjadi fenomena," ujarnya, saat dihubungi, Kompas.com Kamis (7/03/2024).

Novi menyampaikan self harm bagi siswa di hampir semua sekolah sudah menjadi hal yang biasa. Tidak hanya siswa di sekolah daerah pinggiran, tetapi juga sekolah daerah kota.

"Ya nggak semua sekolah, tapi misalnya saya turun ke sekolah-sekolah, mahasiswa saya turun ke sekolah-sekolah, tidak harus di Gunungkidul yang pinggir-pinggir, di kota itu mereka self harming itu udah kayak biasa, ada anak kelas empat SD," tuturnya.

Dari hasil riset yang pernah dilakukanya, para pelajar mendapatkan ide self harm dari melihat media sosial maupun melihat temanya. Selain itu, para pelajar melakukan melakukan self harm saat merasakan stres, capek dan cemas.

Baca juga: Kondisi Murid SMP Gunungkidul yang Melukai Diri Kondisinya Sudah Membaik

"Jadi mereka itu sudah mempunyai kata-kata yang sangat mental health, kayak inferiority, kayak insecure. Itu sudah menjadi kalimat-kalimat anak sekarang," ungkapnya.

Novi melihat hal itu terjadi karena masalah kesehatan mental masih menjadi tantangan utama dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga persoalan yang muncul di sekolah-sekolah bukan masalah akademik tapi bullying ataupun geng sekolah.

"Intinya mental problem kita itu naik sebetulnya," tegasnya.

Orientasi pendidikan harus diubah

Diungkapkan Novi, WHO dari tahun 2010 sudah memprediksi bahwa masalah kesehatan mental di dunia bisa menjadi semacam pandemi baru dan harus dilakukan upaya mitigasi.

Maka dari itu, di negara maju, pendidikan baik di sekolah maupun di keluarga berorientasi pada wellbeing atau kebahagiaan anak-anak.

Sementara pendidikan di Indonesia saat ini masih beroriantasi pada akademik. Orientasi pada akademik ini, membuat kemampuan anak mengelola dan menyeleksi guyuran berbagai informasi di era digital menjadi terbatas karena tidak pernah dilatih di sekolah.

"Termasuk membuat keputusan, meregulasi diri kan nggak pernah dilatih di sekolah. Karena kiblatnya pendidikan Indonesia bukan di wellbeing, kiblatnya pendidikan Indonesia di akademik, literasi, nomerasi, sains," tuturnya.

Baca juga: UGM Akan Bentuk Satgas Kesehatan Mental

Di sisi lain dengan orientasi pada akademik, para guru juga tidak memiliki keterampilan untuk menghadapi persoalan-persoalan anak. Termasuk memitigasi persoalan-persoalan anak.

"Ini kan ilmu perkembangan dan psikologi seharusnya, tidak pernah digali itu. Sehingga anak-anak ini mencari sendiri. Misalnya kalau dia capek, capek banget, stres banget, caranya menyalurkan gimana itu kan nggak tahu mereka. Larinya ada agresivitas, ada depresi, cemas, sampai itu tadi melukai itu. Sehingga itu menjadi tren baru," tandasnya.

Diungkapkan Novi, anak-anak sekarang lebih cenderung lari dari masalah dan bukan mengelolanya. 

"Anak-anak sekarang itu, kalimat healing itu kan biasa to. Dikit-dikit stres, dikit-dikit healing. Sebetulnya karena mereka tidak punya ruang atau skill meregulasi, tahunya healing itu pergi, pergi dari masalah itu, bukan mengelola masalahnya," urainya.

Menurutnya, sekolah perlu mengubah orientasi pendidikan ke arah wellbeing

"Sekarang yang perlu diperhatikan ini bukan masalah literasi, nomerasinya. Yang perlu diperhatikan itu kondisi psikologis dan kesehatan mentalnya anak-anak kita. Karakternya ini yang menjadi persoalan," tegasnya.

Baca juga: Peringati HUT Ke-77 PGRI, Jokowi Minta Kesehatan Mental dan Jasmani Diutamakan demi SDM Unggul

Dari sisi guru juga harus lebih dulu diubah pola pikirnya. Dalam hal ini, pendidikan arahnya bukan untuk membuat murid pintar akademik. Namun pendidikan, untuk membuat manusia bermanfaat dan bahagia.

"Nah kalau pendidikan orientasinya itu, gimana caranya anak-anak itu merasa bermanfaat dan bahagia, jadi harus dimanusiakan," bebernya.

Sehingga guru harus lebih dulu memahami siswa dengan mengutamakan interaksi dan dialog. Novi mencontohkan, pagi sebelum pelajaran guru berinteraksi dan dialog dengan para siswa.

"Nah biasanya dari dialog-dialog itu setiap hari, itu lama-lama beban-beban siswa dan beban guru itu berkurang sebetulnya," tuturnya. 

Menurut Novi, tanpa disadari bahasa yang digunakan di pendidikan sifatnya menerintah atau instruksi. Bukan bahasa-bahasa yang membangun dialog. Kultur itulah, yang harus diubah sehingga terjadi interaksi dan dialog antara guru dengan anak.

Baca juga: Mahasiswa di Jember Nyaris Bunuh Diri karena Overthinking, Ini Pentingnya Edukasi Kesehatan Mental

Sehingga dengan diciptakan ruang interaksi dan dialog itu, sekolah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi anak.

"Pendidikan kita nggak punya kultur itu, bahkan sampai masyarakatnya, bahkan sampai keluarganya. Karena pendidikan ini harus mengubah kultur baru, menurut saya ya. Saya mempercayai namanya pendidikan itu adalah satu media tools untuk membuat kultur baru. Kultur baru yang harus diciptakan adalah dialog ini," tandasnya.

Kelelahan massal dan soal teknologi

Novi yang juga merupakan Pengamat Perkembangan Anak, Remaja dan Pendidikan mengatakan, saat ini terjadi kelelahan massal. Itu yang menyebabkan persoalan self harm menjadi masif.

"Karena pola kehidupan kita sama semua, kayak robot, tanpa sadar," ucap T Novi Poespita.

Novi menyampaikan saat ini tidak mungkin memusuhi teknologi karena sudah menjadi bagian dari hidup. Namun bagimana, manusia tetap menjadi "manusia" dan mengendalikan teknologi.

"Masyarakat Jepang itu mempunyai digital society plan, jadi gimana caranya manusia itu tetap menjadi 'manusia' dan mengendalikan teknologi. Dan melalui apa mereka membangun itu, melalui pendidikan," tandasnya.

Di Jepang lanjut Novi, anak diajari ketika sedang bersama keluarga atau orang yang lebih tua tidak boleh memegang device. Di Australia, anak-anak hanya boleh mempunyai device sendiri ketika sudah umur 13 tahun.

Baca juga: Anak Muda Kerap Alami Kesehatan Mental, Begini Kata Psikolog di Semarang

Artinya dari pendidikan itu, mereka menyiapkan dahulu pola fikir, pola prilaku, pola emosinya sebelum anak memiliki device sendiri.

Menurutnya, harus ada kesepakatan di keluarga dan di sekolah bahwa technology device hanya digunakan pada saat diperlukan. Kemudian lebih banyak, waktu digunakan untuk dialog dan berinterakasi.

"Rekomendasi yang paling utama adalah memperbanyak dialog, berinteraksi, baik di sekolah maupun di keluarga, karena biar kita tetap menjadi manusia. Kita bisa merasakan, kita bisa empati, kita bisa mengelola itu dengan interaksi dan dialog," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Melihat Ratusan Mobil Kuno di Magelang, dari VW sampai Buick Riviera

Melihat Ratusan Mobil Kuno di Magelang, dari VW sampai Buick Riviera

Yogyakarta
Prakiraan Cuaca Solo Hari Ini Sabtu 11 Mei 2024, dan Besok : Siang Berawan

Prakiraan Cuaca Solo Hari Ini Sabtu 11 Mei 2024, dan Besok : Siang Berawan

Yogyakarta
Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini Sabtu 11 Mei 2024, dan Besok : Siang Cerah Berawan

Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini Sabtu 11 Mei 2024, dan Besok : Siang Cerah Berawan

Yogyakarta
Libur Panjang, Jip Wisata Lava Tour Merapi Diserbu Wisatawan

Libur Panjang, Jip Wisata Lava Tour Merapi Diserbu Wisatawan

Yogyakarta
BPBD Kota Yogyakarta Minta Masyarakat Bangun Rumah Tahan Gempa

BPBD Kota Yogyakarta Minta Masyarakat Bangun Rumah Tahan Gempa

Yogyakarta
Sopir Ngantuk Berat, Mobil Muatan Beras Terjun ke Sungai Kulon Progo

Sopir Ngantuk Berat, Mobil Muatan Beras Terjun ke Sungai Kulon Progo

Yogyakarta
Perahu Dihantam Ombak, Nelayan di Gunungkidul Terombang-ambing di Lautan

Perahu Dihantam Ombak, Nelayan di Gunungkidul Terombang-ambing di Lautan

Yogyakarta
Libur Panjang, Persewaan iPhone di Gunungkidul Laris Diburu Anak Muda

Libur Panjang, Persewaan iPhone di Gunungkidul Laris Diburu Anak Muda

Yogyakarta
Sampah Diduga dari Luar Gunungkidul Dibuang Sembarangan di Tengah Hutan

Sampah Diduga dari Luar Gunungkidul Dibuang Sembarangan di Tengah Hutan

Yogyakarta
Wakil Bupati dan Eks Sekda Sleman Berebut Tiket Pilkada dari PDI-P

Wakil Bupati dan Eks Sekda Sleman Berebut Tiket Pilkada dari PDI-P

Yogyakarta
5 Nama Daftar Bakal Calon Wali Kota Yogyakarta Melalui PDI-P, Siapa Saja?

5 Nama Daftar Bakal Calon Wali Kota Yogyakarta Melalui PDI-P, Siapa Saja?

Yogyakarta
Pelaku Penembak Anak SD di Sleman dengan Senapan Angin Ditangkap, Alasannya Emosi

Pelaku Penembak Anak SD di Sleman dengan Senapan Angin Ditangkap, Alasannya Emosi

Yogyakarta
Lagi, Lahan Bekas Tambang di Gunungkidul Jadi Lokasi Pembuangan Sampah Ilegal

Lagi, Lahan Bekas Tambang di Gunungkidul Jadi Lokasi Pembuangan Sampah Ilegal

Yogyakarta
Desentralisasi Sampah di DIY, TPST 3R Kota Yogyakarta Dinilai Belum Siap

Desentralisasi Sampah di DIY, TPST 3R Kota Yogyakarta Dinilai Belum Siap

Yogyakarta
Pelaku Pelecehan Payudara di Gunungkidul Ditangkap, Motifnya Dendam kepada Perempuan

Pelaku Pelecehan Payudara di Gunungkidul Ditangkap, Motifnya Dendam kepada Perempuan

Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com