"Nah kalau pendidikan orientasinya itu, gimana caranya anak-anak itu merasa bermanfaat dan bahagia, jadi harus dimanusiakan," bebernya.
Sehingga guru harus lebih dulu memahami siswa dengan mengutamakan interaksi dan dialog. Novi mencontohkan, pagi sebelum pelajaran guru berinteraksi dan dialog dengan para siswa.
"Nah biasanya dari dialog-dialog itu setiap hari, itu lama-lama beban-beban siswa dan beban guru itu berkurang sebetulnya," tuturnya.
Menurut Novi, tanpa disadari bahasa yang digunakan di pendidikan sifatnya menerintah atau instruksi. Bukan bahasa-bahasa yang membangun dialog. Kultur itulah, yang harus diubah sehingga terjadi interaksi dan dialog antara guru dengan anak.
Baca juga: Mahasiswa di Jember Nyaris Bunuh Diri karena Overthinking, Ini Pentingnya Edukasi Kesehatan Mental
Sehingga dengan diciptakan ruang interaksi dan dialog itu, sekolah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi anak.
"Pendidikan kita nggak punya kultur itu, bahkan sampai masyarakatnya, bahkan sampai keluarganya. Karena pendidikan ini harus mengubah kultur baru, menurut saya ya. Saya mempercayai namanya pendidikan itu adalah satu media tools untuk membuat kultur baru. Kultur baru yang harus diciptakan adalah dialog ini," tandasnya.
Novi yang juga merupakan Pengamat Perkembangan Anak, Remaja dan Pendidikan mengatakan, saat ini terjadi kelelahan massal. Itu yang menyebabkan persoalan self harm menjadi masif.
"Karena pola kehidupan kita sama semua, kayak robot, tanpa sadar," ucap T Novi Poespita.
Novi menyampaikan saat ini tidak mungkin memusuhi teknologi karena sudah menjadi bagian dari hidup. Namun bagimana, manusia tetap menjadi "manusia" dan mengendalikan teknologi.
"Masyarakat Jepang itu mempunyai digital society plan, jadi gimana caranya manusia itu tetap menjadi 'manusia' dan mengendalikan teknologi. Dan melalui apa mereka membangun itu, melalui pendidikan," tandasnya.
Di Jepang lanjut Novi, anak diajari ketika sedang bersama keluarga atau orang yang lebih tua tidak boleh memegang device. Di Australia, anak-anak hanya boleh mempunyai device sendiri ketika sudah umur 13 tahun.
Baca juga: Anak Muda Kerap Alami Kesehatan Mental, Begini Kata Psikolog di Semarang
Artinya dari pendidikan itu, mereka menyiapkan dahulu pola fikir, pola prilaku, pola emosinya sebelum anak memiliki device sendiri.
Menurutnya, harus ada kesepakatan di keluarga dan di sekolah bahwa technology device hanya digunakan pada saat diperlukan. Kemudian lebih banyak, waktu digunakan untuk dialog dan berinterakasi.
"Rekomendasi yang paling utama adalah memperbanyak dialog, berinteraksi, baik di sekolah maupun di keluarga, karena biar kita tetap menjadi manusia. Kita bisa merasakan, kita bisa empati, kita bisa mengelola itu dengan interaksi dan dialog," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.