KOMPAS.com - Keraton Yogyakarta memiliki sebuah tradisi yang disebut dengan tradisi Labuhan.
Tradisi Labuhan ini menjadi salah satu Hajad Dalem yang akan dilakukan secara rutin oleh Keraton Yogyakarta.
Baca juga: Tradisi Labuhan Merapi, Upacara Adat Sejak Era Kerajaan Mataram Islam
Dalam pelaksanaannya, tradisi Labuhan akan diikuti oleh para abdi dalem serta ratusan warga.
Tidak jarang, pelaksanaan tradisi Labuhan juga menarik perhatian wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Baca juga: Sekaten, Hajad Dalem Keraton Yogyakarta di Bulan Mulud
Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan DIY, tradisi Labuhan telah dilakukan sejak masa Kerajaan Mataram Islam.
Awal mula dari tradisi ini berawal dari masa pemerintahan Panembahan Senopati yang merupakan pendiri Kerajaan Mataram Islam.
Konon, Panembahan Senopati membuat perjanjian kerjasama dengan Kanjeng Ratu Kidul untuk mendapatkan dukungan.
Sebagai gantinya, Panembahan Senopati harus memberikan persembahan yang diwujudkan dalam bentuk upacara Labuhan.
Upacara Labuhan ini yang kemudian menjadi tradisi di Kerajaan Mataram Islam dan dilestarikan oleh keturunannya.
Pelaksanaannya tidak hanya dilakukan di satu tempat saja, namun dilakukan di beberapa lokasi berbeda.
Meski kemudian Kerajaan Mataram Islam terpecah pasca Perjanjian Giyanti, tradisi Labuhan terus dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta sampai sekarang.
Menilik asal katanya, Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya membuang, meletakkan, atau menghanyutkan.
Sehingga makna dari tradisi Labuhan adalah sebagai doa dan pengharapan untuk membuang segala macam sifat buruk.
Labuhan juga disebut berasal dari kata labuh yang memiliki arti persembahan. Sehingga pada pelaksanaannya, upacara labuhan akan menggunakan berbagai perlengkapan atau ubarampe.
Makna tradisi ini adalah sebagai bentuk rasa syukur dan doa bagi keselamatan raja sekaligus tanda penghormatan bagi para leluhur Keraton Yogyakarta.