Tradisi ini dimaknai sebagai sebuah bentuk persembahan doa kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Selain itu, tradisi ini dilangsungkan dengan maksud agar negara dan rakyatnya senantiasa dalam keadaan selamat, tentram dan sejahtera.
Pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Hajad Dalem Labuhan tidak diselenggarakan untuk memperingati Jumenengan Dalem (hari penobatan) melainkan untuk Wiyosan Dalem (peringatan hari ulang tahun Sultan) berdasarkan kalender Jawa.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Hajad Dalem Labuhan dikembalikan untuk peringatan Jumenengan Dalem.
Sejak itu, setiap tahun upacara Labuhan digelar satu hari setelah puncak acara Jumenengan Dalem (29 Rejeb) sehingga jatuh pada tanggal 30 Rejeb dan dikenal sebagai Labuhan Alit.
Selain itu, ada pula tradisi Labuhan yang dilakukan delapan tahun sekali pada tahun Dal atau setiap sewindu penobatan Sultan dikenal sebagai Labuhan Ageng.
Dilansir dari laman kratonjogja.id, tradisi Labuhan Keraton Yogyakarta dilakukan di beberapa lokasi yang disebut dengan petilasan.
Petilasan ini merupakan tempat penting yang terkait dengan sejarah Keraton Yogyakarta.
Berikut adalah beberapa lokasi pelaksanaan tradisi Labuhan yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta.
Labuhan Parangkusumo dilakukan di Pantai Parangkusumo yang berada di pesisir selatan Yogyakarta yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bantul.
Upacara ini dilakukan di Cepuri Parangkusumo yang konon menjadi tempat bertapa Panembahan Senopati saat akan bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Kemudian, uborampe akan dibawa ke bibir Pantai Parangkusumo untuk dilabuh atau dihanyutkan ke laut selatan.
Labuhan Merapi dilakukan di lereng Gunung Merapi yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Sleman.
Upacara ini dilakukan di petilasan Juru Kunci Merapi Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Kalurahan Umbulharjo, Kapanewon Cangkringan.
Kemudian, uborampe akan dibawa ke Sri Manganti, Alas Bedengan yang berada pada ketinggian 1.550 m dpl.