Contoh hitungan tersebut seperti Lawang Geringen, Lawang Sugih Tamu, Lawang Sugih Putra, Lawang Keh Siyalane, Lawang Kemalingan, Lawang Akeh Arta Saking Putra, Lawang Sntuk Desa Saka Putra, Lawang Budi Rasa, danLawang Mlarat.
Perhitungan ini dilakukan dengan cara membagi 9 sepanjang halaman yang akan dibuat regol, dengan demikian akan didapatkan hitungan berdasarkan dari letak regol tersebut.
Dilansir dari laman resmi Kalurahan Margomulyo, sesepuh dusun setempat menyatakan bahwa Kyai dan Nyai Regol juga merupakan kepercayaan Ndara Purba.
Ndara Purba atau Raden Bekel Prawira Purba adalah cucu Sultan Hamengku Buwono VI dari putranya yang bernama Gusti Pangeran Harya Surya Mataram I.
Sosok Ndara Purba ini pula yang memberikan perintah untuk Kyai dan Nyai Regol untuk tinggal di wilayah yang sekarang disebut Padukuhan Kregolan.
Dimasa itu, padukuhan ini masih berupa tanah kosong yang belum tergarap dan penuh semak belukar atau mungkin juga berupa hutan.
Baru setelahnya wilayah ini dikenal sebagai Padukuhan Kregolan, yang diambil dari nama pendirinya, yang tidak lai adalah Kyai dan Nyai Regol.
Sampai saat ini, makam Siregol yang merupakan makam dari Kyai dan Nyai Regol masih dijaga dengan baik oleh warga Padukuhan Kregolan.
Di makam Siregol tersebut juga hanya terdapat makam dari Kyai dan Nyai regol serta beberapa hewan kesayangan mereka saja.
Sebagai makam untuk tokoh penting dan dihormati, tidak ada orang lain yang dimakamkan di makam Siregol tersebut selain kedua sosok pendirinya.
Kyai dan Nyai Regol semasa hidupnya adalah tokoh yang disegani karena dikenal sakti serta dapat mengayomi warga yang tinggal di wilayahnya.
Semasa hidupnya, keduanya dikenal sangat menggemari pertunjukan wayang kulit dan tarian serta nyanyian ledhek.
Bahkan sepeninggal Kyai dan Nyai Regol, ada tradisi unik yang dilakukan ketika masih banyak ledhek keliling dari satu kampung ke kampung lain.
Apabila rombongan ledhek keliling tersebut melintas di sisi makam Kyai dan Nyai Regol, dapat dipastikan mereka akan melakukan pementasan barang satu babak (satu gong-an) di tempat itu.
Tradisi ini berasal dari kepercayaan, jika rombongan melakukan pementasan meskipun sekejap di tempat itu, maka ledhek keliling mereka menjadi laris.