Salin Artikel

Kisah Padukuhan Kregolan dan Anggapan Pagar yang Jadi Pemisah Hubungan Antarwarga

KOMPAS.com - Padukuhan Kregolan, yang terletak di Kalurahan Margomulyo, Kapanewon Seyegan, Kabupaten Sleman memiliki tradisi unik seputar pagar.

Keunikan ini terkait dengan nama Padukuhan Kregolan yang berasal dari kata “regol” yang dalam bahasa Jawa juga berarti pagar.

Seperti diketahui, warga di Padukuhan Kregolan menjalani tradisi berupa pantangan atau larangan yang tidak boleh dilanggar, diantaranya yaitu tidak diperkenankan membuat regol atau gapura.

Konon, jika pantangan ini dilanggar maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada keluarga yang membangunnya.

Tradisi ini juga terkait dengan kisah pendiri kampung tersebut yang bernama Kyai dan Nyai Regol.

Pantangan Membangun Regol di Padukuhan Kregolan

Di Padukuhan Kregolan, pantangan atau larangan membangun regol merupakan tradisi yang dipercaya dan telah dilaksanakan warga secara turun-temurun.

Warga tidak diperkenankan membuat regol atau gapura, khususnya gapura bergaya paduraksa atau gapura yang menyatu di bagian atasnya sehingga bisa meneduhi orang yang berjalan melaluinya.

Pantangan agar tidak membuat regol bagi warga setempat dimaksudkan agar benda atau bangunan yang dinamakan regol itu tidak menyamai nama pendiri kampung tersebut yaitu Kyai dan Nyai Regol.

Selain itu, warga Padukuhan Kregolan berkeyakinan bahwa adanya pagar membuat kebersamaan antar masyarakat menjadi berkurang.

Pagar dianggap sebagai pemisah hubungan antarwarga, sehingga bangunan tanpa regol diharapkan dapat membuat tetangga dapat bebas untuk saling berkunjung.

Di sisi lain, masyarakat Jawa memang dikenal mempercayai aturan dalam membangun regol yang tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Dikutip dari akun resmi Paniradya Kaistmewaan, membuat atau meletakkan regol sebagai pintu masuk pekarangan harus berpatokan pada perhitungan yang berhubungan dengan paham keselamatan, keberuntungan, serta etika yang berlaku.

Salah satunya penempatan pintu gerbang yang tidak dibangun tegak lurus dengan pendapa dan ndalem ageng.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk penerapan etika yaitu untuk tidak menunjukkan kekayaan atau pamer, tidak menunjukkan kesibukan yang terjadi di dalam rumah, serta untuk menghindari roh jahat yang datang langsung ke rumah.

Kemudian, ada juga perhitungan yang dipergunakan untuk meletakkan regol yang diyakini memiliki watak (karakter) berdasarkan hitungannya.

Contoh hitungan tersebut seperti Lawang Geringen, Lawang Sugih Tamu, Lawang Sugih Putra, Lawang Keh Siyalane, Lawang Kemalingan, Lawang Akeh Arta Saking Putra, Lawang Sntuk Desa Saka Putra, Lawang Budi Rasa, danLawang Mlarat.

Perhitungan ini dilakukan dengan cara membagi 9 sepanjang halaman yang akan dibuat regol, dengan demikian akan didapatkan hitungan berdasarkan dari letak regol tersebut.

Asal-usul Padukuhan Kregolan

Dilansir dari laman resmi Kalurahan Margomulyo, sesepuh dusun setempat menyatakan bahwa Kyai dan Nyai Regol juga merupakan kepercayaan Ndara Purba.

Ndara Purba atau Raden Bekel Prawira Purba adalah cucu Sultan Hamengku Buwono VI dari putranya yang bernama Gusti Pangeran Harya Surya Mataram I.

Sosok Ndara Purba ini pula yang memberikan perintah untuk Kyai dan Nyai Regol untuk tinggal di wilayah yang sekarang disebut Padukuhan Kregolan.

Dimasa itu, padukuhan ini masih berupa tanah kosong yang belum tergarap dan penuh semak belukar atau mungkin juga berupa hutan.

Baru setelahnya wilayah ini dikenal sebagai Padukuhan Kregolan, yang diambil dari nama pendirinya, yang tidak lai adalah Kyai dan Nyai Regol.

Mengenal Sosok Kyai dan Nyai Regol

Sampai saat ini, makam Siregol yang merupakan makam dari Kyai dan Nyai Regol masih dijaga dengan baik oleh warga Padukuhan Kregolan.

Di makam Siregol tersebut juga hanya terdapat makam dari Kyai dan Nyai regol serta beberapa hewan kesayangan mereka saja.

Sebagai makam untuk tokoh penting dan dihormati, tidak ada orang lain yang dimakamkan di makam Siregol tersebut selain kedua sosok pendirinya.

Kyai dan Nyai Regol semasa hidupnya adalah tokoh yang disegani karena dikenal sakti serta dapat mengayomi warga yang tinggal di wilayahnya.

Semasa hidupnya, keduanya dikenal sangat menggemari pertunjukan wayang kulit dan tarian serta nyanyian ledhek.

Bahkan sepeninggal Kyai dan Nyai Regol, ada tradisi unik yang dilakukan ketika masih banyak ledhek keliling dari satu kampung ke kampung lain.

Apabila rombongan ledhek keliling tersebut melintas di sisi makam Kyai dan Nyai Regol, dapat dipastikan mereka akan melakukan pementasan barang satu babak (satu gong-an) di tempat itu.

Tradisi ini berasal dari kepercayaan, jika rombongan melakukan pementasan meskipun sekejap di tempat itu, maka ledhek keliling mereka menjadi laris.

Sebaliknya, jika mereka tidak mau melakukan pementasan barang sekejap saja di tempat itu, maka ledhek keliling mereka menjadi tidak laku.

Selanjutnya, warga juga masih mempercayai kehadiran Kyai dan Nyai Regol pada sebuah pertunjukan kesenian tradisional semacam wayang kulit, ledhek, ketoprak, dan lain-lain.

Sekalipun keduanya telah meninggal, namun warga percaya kehadiran Kyai dan Nyai Regol akan ditandai oleh sebuah pertanda khusus.

Hal ini bisa dilihat jika ada warga setempat menghelat pertunjukkan wayang kulit atau ketoprak, maka umumnya dusun tersebut akan dilanda hujan sebelum pertunjukan dimulai.

Apabila menjelang pertunjukan kesenian tradisional itu dimulai hujan pun berhenti, maka menurut kepercayaan setempat hal ini menjadi pertanda bahwa roh Kyai dan Nyai Regol hadir atau merestui pertunjukan tersebut.

Sumber:
margomulyosid.slemankab.go.id  
facebook.com/PaniradyaKaistimewanDIY  

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/12/26/222703778/kisah-padukuhan-kregolan-dan-anggapan-pagar-yang-jadi-pemisah-hubungan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke