Sebelum pecahnya Perang Diponegoro, di wilayah Kulon Progo belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa.
Saat waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Baru setelah Perang Diponegoro (1825-1830) di wilayah Kulon Progo yang masuk wilayah Kasultanan, secara bertahap terbentuk empat kabupaten dipimpin oleh para tumenggung, yaitu Kabupaten Pengasih (1831), Kabupaten Sentolo (1831), Kabupaten Nanggulan (1851), dan Kabupaten Kalibawang (1855).
Menurut buku Prodjo Kejawen, keempat kabupaten tersebut lantas digabung menjadi satu pada tahun 1912.
Hasil penyatuan wilayah itu diberi nama Kabupaten Kulon Progo yang ibukotanya terletak di Pengasih, dengan bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto.
Selanjutnya mulai 16 Februari 1927, ibu kota Kabupaten Kulon Progo dipindahkan ke Sentolo.
Tak hanya itu, wilayahnya dibagi menjadi dua kawedanan dengan delapan kapanewon.
Dua kawedanan tersebut yaitu Kawedanan Pengasih yang meliputi kepanewon Lendah, Sentolo, Pengasih, dan Kokap/Sermo, serta Kawedanan Nanggulan yang meliputi kapanewon Watumurah/Girimulyo, Kalibawang, dan Samigaluh.
Tersebutlah wilayah bernama Karang Kemuning yang masuk Keprajan Kejawen dan selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta.
Lokasi dari wilayah Kabupaten Adikarta berada di daerah selatan Kulon Progo.
Menurut buku Vorstenlanden, pada tahun 1813, Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan mendapat tanah pelungguh yang lokasinya berada di sebelah barat Sungai Progo sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu.
Namun karena tanah pelungguh itu letaknya berpencaran, maka sentono ndalem Paku Alam I yang bernama Kyai Kawirejo I memberi masukan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya.
Hasil penyatuan tanah pelungguh tersebut membentuk satu daerah yang diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibu kota di Brosot.
Bupati pertama yang menjabat adalah Tumenggung Sosrodigdoyo, dan Bupati kedua adalah R. Rio Wasadirdjo.
Bupati kedua kemudian mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar melakukan pengeringan rawa di Karang Kemuning.