KOMPAS.com - Warga Bantul, Yogyakarta, mengaku masih "trauma" dengan gempa 2006 lalu yang menewaskan ribuan orang, di tengah munculnya tanda peningkatan aktivitas Sesar Opak seperti yang diungkap BMKG.
Bagaimana kesiapan warga menghadapi risiko bencana yang bisa datang kapan saja itu?
Caecilia Naning, warga Desa Sumbermulyo, Bantul, mengaku tidak mengetahui banyak hal tentang Sesar Opak, yang memicu gempa besar pada 2006 lalu dan membuatnya trauma.
Setiap gempa terjadi, yang dia lakukan hanya pasrah dan berlari ke luar rumah.
Ahli Geologi Universitas Gadjah Mada, Wahyu Wilopo, mengatakan seharusnya pengetahuan tentang bagaimana menghadapi bencana bisa menjangkau semua warga tanpa terkecuali, agar warga bisa menghindari atau mengurangi risiko.
Baca juga: Mengenal Sesar Opak, Pusat Gempa Yogyakarta 2006
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mengatakan pihaknya telah berupaya melakukan beberapa hal untuk mitigasi bencana, termasuk edukasi, membangun desa tangguh bencana, dan merekonstruksi bangunan dengan kualitas yang lebih baik.
Pada 3 Agustus lalu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofosika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan masyarakat di wilayah Yogyakarta harus terus melakukan pelatihan mitigasi kebencanaan karena ada gejala peningkatan aktivitas kegempaan akibat Sesar Opak.
Gempa dengan magnitudo 6 pada 30 Juni lalu yang mengguncang Kabupaten Bantul adalah salah satu gejalanya.
Sesar Opak yang membentang dari selatan Yogyakarta ke arah utara sepanjang 45 kilometer dikatakan memiliki magnitudo tertarget 6,6.
Baca juga: Mengenal Sesar Opak, Pusat Gempa Yogyakarta 2006
Sebab, pada 2006 lalu, rumahnya runtuh akibat gempa magnitudo moment 6,4 yang mengguncang Bantul dan sekitarnya.
Gempa yang dipicu aktivitas Sesar Opak itu menewaskan 20 orang di desanya.
Dampak gempa membuat Naning terpaksa tinggal di “rumah tenda” sampai berbulan-bulan lamanya, menunggu rumahnya kembali dibangun.
Naning bahkan melahirkan di rumah tenda yang berdiri tak jauh dari rumahnya yang runtuh.
Pada akhir Juni lalu, ketakutan dan trauma Naning muncul lagi karena guncangan gempa magnitudo 6 terasa kencang. Beruntung, rumahnya tidak mengalami kerusakan.
Baca juga: Ancaman Sesar Opak di DIY, Kepala BMKG: Mitigasi Jangan Terputus
Ketika ditanya mengenai ancaman gempa ke depan, seperti yang diungkap BMKG, Naning mengatakan dirinya belum mendapat informasi tentang hal itu.
Dia mengaku tidak ada persiapan khusus untuk menghadapi gempa yang bisa datang sewaktu-waktu.
“Tinggal pasrah saja. Habis [mau] bagaimana? Di sini kalau gempa semua orang langsung lari keluar rumah, ke kebun tebu, yang paling aman,” kata perempuan berusia 60 tahun itu kepada BBC News Indonesia, Jumat (04/08).
Setelah gempa 2006, Naning mengatakan sering ada penyuluhan terkait gempa, tapi dia tidak ikut sehingga dia pun tidak tahu apa isi penyuluhan itu.
Menurut pengakuannya, beberapa tahun belakangan ini dia tidak mendapatkan informasi tentang itu.
“Yang dikasih tahu cuma dukuh-dukuh itu, Pak RT, enggak semua warga, nanti perwakilan dari RT diambil dua orang atau berapa, nanti diteruskan ke yang lain,” ujar dia.
Baca juga: Sesar Opak, Sesar Aktif yang Menghantui Wilayah Yogyakarta