BMKG mengatakan ada gejala peningkatan aktivitas kegempaan akibat Sesar Opak. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa kenaikan aktivitas Sesar Opak "tampak dari monitoring" gempa bumi di jalur sesar tersebut.
Daryono menyebut aktivitas kegempaannya "sangat aktif dan intensif". Warga sekitar pun mengaku sering merasakan gempa kecil atau yang disebut Naning sebagai "lindu".
"Gempa kecil masih sering terjadi di jalur Sesar Opak. Banyak aktivitas gempa Sesar Opak, tetapi karena magnitudonya kecil sehingga tidak dirasakan oleh warga. Tetapi jika magnitudonya cukup signifikan, maka dapat dirasakan oleh masyarakat dekat jalur sesar ini karena kedalaman hiposenternya yang dangkal," kata Daryono menjelaskan.
Ahli geologi dari Universitas Gadjah Mada Wahyu Wilopo mengatakan gempa seperti pada 2006 lalu “kemungkinan pasti” akan terjadi lagi, entah dengan kekuatan yang lebih kecil atau justru lebih besar.
Namun, kapan terjadinya, itu yang tidak bisa diketahui.
Wahyu mengatakan daerah yang berada di sepanjang Sesar Opak—mulai dari wilayah Kretek di Kabupaten Bantul, sampai dengan Prambanan di Kabupaten Sleman dan sekitarnya—berisiko mengalami “guncangan yang cukup tinggi akibat gempa”.
Baca juga: Mengenal Monumen Gempa Yogyakarta 2006 di Bantul, Titik Pusat Gempa
Bahkan di sekitar Sungai Opak, Wahyu menyebut ada potensi likuifaksi atau pencairan daratan karena material tanah yang halus dan muka tanah yang dangkal mendapatkan guncangan.
Gempa Yogyakarta pada 2006 lalu berpusat di Bantul dengan kedalaman 33 kilometer. Gempa magnitudo 6,4 itu berlangsung selama 57 detik.
Sebanyak 6.000 lebih warga meninggal dunia dan 26.000 lebih mengalami luka berat dan ringan.
Apa yang dikatakan Wahyu dikonfirmasi oleh Daryono. Jika ingin mengetahui seberapa bahaya ancaman aktivitas Sesar Opak, kata dia, kita bisa merujuk pada gempa 27 Mei 2006.
Menurut penjelasannya, gempa saat itu memiliki "magnitudo yang kecil", tapi berdampak besar dan mematikan karena pusat gempa berada di daratan dan dekat permukiman padat dengan karakteristik tanah lunak yang tebal.
"Sehingga memicu resonansi dan amplifikasi [penguatan gelombang gempa]," ujarnya.
Sesar Opak tidak hanya menyebabkan kerawanan gempa, dia menambahkan. Ada bahaya-bahaya ikutan gempa lainnya yang juga bisa berisiko, seperti longsoran dan runtuhan batu di perbukitan, hingga tanah terbelah dan likuefaksi di Bantul.
Baca juga: Berentet Gempa Yogyakarta dalam 24 Jam dan Memori 17 Tahun Lalu
"Bahaya ikutan semacam ini terbukti banyak terjadi saat gempa Yogyakarta 2006, sehingga ke depan harus diwaspadai dan diantisipasi oleh masyarakat," tegas Daryono.
Konsepnya adalah dengan memperkuat kapasitas desa, mulai dari infrastruktur sampai masyarakatnya, untuk menghadapi potensi bencana di wilayahnya. Termasuk di dalamnya memperkuat pengetahuan warga.
“Intervensi ini bukan one hit program tapi menerus, jadi itu masuk dalam program-program desanya. Kemudian masyarakat desanya itu juga bisa menggunakan dana desa untuk mitigasi, bisa membangun prasarana-prasarana untuk mitigasi bencana dengan dana desa dan sumber daya yang ada di desa itu. Ini yang bisa menjamin keberlanjutannya,” kata Abdul Muhari kepada BBC News Indonesia, Jumat (04/08).
Di Yogyakarta sendiri sudah ada 300 lebih desa tangguh bencana, dari target 430 desa. Di seluruh Indonesia, Abdul Muhari mengatakan ada 17.000 desa tangguh bencana yang sudah dilakukan intervensi oleh BNPB.
Baca juga: 5 Hal soal Gempa Yogyakarta M 6,0 di Selatan Jawa, Penyebab, dan Dampaknya
Wahyu Wilopo menambahkan, pemerintah harus memastikan pengetahuan tentang bagaimana menghadapi bencana benar-benar “menjangkau semua masyarakat di desa”, sampai ke lansia, anak, dan difabel.
Dan masyarakat pun harus selalu “siap dan sadar” terhadap ancaman bencana.
“Kenali ancaman, susun strategi untuk mengurangi atau menghindari risiko, dan harus ada gladi [berlatih] untuk membiasakan karena kadang sudah tahu teorinya tapi kalau tidak dipraktekan kadang bingung. Harus disusun sebuah rencana aksi untuk evakuasi,” kata Wahyu.