Selain besarnya guncangan, kedalaman, dan durasi gempa, Wahyu mengatakan salah satu hal yang menyebabkan gempa yang mematikan adalah konstruksi bangunan. Itu yang perlu diperhatikan ketika seseorang memutuskan tetap tinggal di daerah rawan gempa.
Gempa 2006 lalu menyebabkan puluhan ribu rumah rusak dan ribuan nyawa melayang.
Kini, rumah-rumah yang runtuh itu sudah dibangun kembali, rumah yang rusak sudah diperbaiki, tapi pertanyaannya apakah bangunan itu memiliki kualitas yang lebih baik dalam menghadapi gempa atau malah lebih buruk?
Wahyu mengatakan, pemerintah memang memiliki standar bangunan di daerah rawan bencana, tetapi menurut dia “sulit sekali” untuk memastikan implementasinya di lapangan.
“Kalau dulu kan yang penting bagaimana bisa memiliki rumah lagi, yang penting rumahnya berdiri. Padahal seharusnya membangun dengan kondisi yang lebih kuat dibanding sebelumnya,” ujar Wahyu.
Baca juga: Trauma Jadi Korban Gempa 2006, Mbah Muhyi Pilih Tinggal di Gubuk Reyot
Dia menilai di situlah diperlukan kesadaran masyarakat dan pihak swasta yang membangun. Para pekerja bangunan yang membangun di daerah rawan bencana, menurut dia harus “memiliki sertifikasi”.
“Saya kira kontrol itu masih lemah. Jadi, sebenarnya IMB [Izin Mendirikan Bangunan] itu salah satunya tidak hanya mengontrol, tapi juga memastikan bangunan atau desain bagunan itu aman buat orang yang tinggal di dalamnya,” tegasnya.
Abdul Muhari mengatakan rekonstruksi bangunan di daerah bencana “tentu saja dibangun lebih baik daripada kualitas sebelumnya” sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku dan pembangunan itu berada di bawah pengawasan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan.
“Di Bantul berapa bulan yang lalu gempa yang kekuatannya magnitudo 6 kedalamannya 10 kilometer itu hanya satu rumah yang rusak berat, sekitar seratusan rumah lainnya rusak ringan, hanya gentengnya jatuh. Artinya ada perbaikan dari sisi mitigasi dan kesiapsiagaan,” ujar Abdul.
Namun, menurut Wahyu, gempa pada akhir Juni lalu itu tidak bisa dijadikan patokan karena pusat gempanya berbeda, bukan di Sesar Opak.
“Itu sudah lumayan jauh pusatnya, dan gempanya kemarin itu lebih pendek waktunya dibandingkan yang dulu,” kata dia.
Baca juga: Gempa 2006, Bangunan Warisan Budaya Yogyakarta Rusak
Sesar Opak bukan satu-satunya sesar yang memicu gempa besar dan mengancam nyawa warga. Beberapa sumber menyebut setidaknya ada lebih dari 30 sesar aktif di Pulau Jawa, yang menyimpan potensi gempa yang berbeda-beda.
Sebut saja Sesar Lembang di Jawa Barat yang bisa memicu gempa dengan magnitudo 6,5 – 7. Ada juga Sesar Kendeng, yang membentang dari Selatan Semarang, Jawa Tengah, hingga bagian barat Jawa Timur, dikatakan bisa memicu gempa bumi dengan kekuatan magnitudo 7.
Sesar Baribis juga dikatakan bisa memicu gempa bumi yang mematikan karena melewati wilayah Jakarta dan sekitarnya yang padat penduduk.
Itu yang sudah teridentifikasi. Dalam wawancara bersama BBC News Indonesia pada Juni lalu, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami dari BMKG, Daryono, mengatakan "masih banyak sekali sumber gempa sesar aktif yang belum terpetakan" di Indonesia.
Baca juga: Pakar Geologi ITS Menduga Gempa Mojokerto Disebabkan Aktivitas Sesar Baru
Gempa Cianjur pada 21 November 2022 lalu, yang menewaskan lebih dari 300 orang dan membuat seribuan orang terluka, disebabkan oleh aktivitas Sesar Cugenang, kata BMKG.
Sesar Cugenang termasuk sesar baru yang teridentifikasi BMKG setelah gempa tersebut.
Sebelumnya, para ahli menduga gempa itu disebabkan aktivitas Sesar Cimandiri karena pusat gempa berada di dekat sesar tersebut.
Sesar aktif lainnya yang belum terpetakan ada di Jawa Timur, yang menyebabkan gempa magnitudo 4,6 di Mojokerto pada Juni lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.