Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesaksian Mahasiswa UNY Kesulitan Bayar UKT, Kerja Sampingan Jadi Buruh hingga Jual Sapi

Kompas.com, 17 Januari 2023, 16:50 WIB
Wijaya Kusuma,
Khairina

Tim Redaksi

Hal ini, menurut Mushab, menunjukkan sejak awal penetapan UKT di UNY sudah tidak sesuai dengan kondisi real ekonomi keluarga mahasiswa.

"Itu menunjukan bahwa penetapan UKT dari awal ketika mahasiswa baru menempuh kuliah di UNY itu sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonominya," tegasnya.

UKT, lanjut Mushab, ditentukan saat awal masuk kuliah. UNY bergerak melihat ada permasalahan dalam rumusan yang digunakan untuk menetapkan besaran UKT.

Sebab, belum bisa mengukur kondisi ekonomi orangtua mahasiswa yang sebenarnya.

Sehingga besaran UKT yang ditetapkan, tidak sesuai dengan kondisi ekonomi orang tua mahasiswa.

"Kami menilai indikator yang disediakan di UNY itu belum bisa mengukur kondisi ekonomi yang sebenarnya dibuktikan dengan ada rumusan-rumusan tadi yang kok bisa mahasiswa dengan kondisi real ekonomi mahasiswa tidak mampu ternyata mendapatkan UKT tinggi, meskipun sudah mengikuti prosedur yang sudah disediakan UNY dengan jujur," tegasnya.

Mushab mengungkapkan mahasiswa semester pertama tidak bisa mengajukan penyesuaian besaran UKT. Mahasiswa bisa mengajukan penyesuaian besaran UKT pada saat semester kedua.

Pengajuan penyesuaian UKT yang disetujui pun tidak lantas besaranya diturunkan signifikan atau disesuaikan dengan kondisi ekonomi orangtua yang sebenarnya. Rata-rata penyesuaian hanya turun satu tingkat golongan saja.

"Misal ketika keluarga ekonominya sudah menurun drastis, penghasilannya menurun drastis, bahkan hingga berutang gitu, tapi penurunan yang diterima hanya 1 golongan. Kan itu skema satu ya, skema orangtua meninggal atau bangkrut, hanya penurunan satu golongan," bebernya.

Terpaksa cuti kuliah

Dari hasil survei yang dilakukan, ada ratusan mahasiswa UNY yang menyatakan akan mengambil cuti. Hal itu, karena besaran UKT yang tinggi dan tidak seusai dengan kondisi real ekonomi orang tuanya.

"Kemarin juga disurvei, 160 orang lebih mahasiswa UNY menyatakan ingin cuti atau mempertimbangkan melakukan cuti karena kurang mampu membayar UKT dari survei kami," tegasnya.

Mushab menuturkan ada juga beberapa mahasiswa yang menceritakan mempertimbangkan berhenti kuliah. Ada pula yang mempertimbangkan kerja paruh waktu, karena kondisi ekonomi keluarganya memburuk.

"Saat kita mengecek satu-persatu dari 1.000-an itu, setidaknya ada 3-an yang kita lihat kasusnya. Dari berbagai kasus, ada yang mempertimbangkan cuti, ada yang mempertimbangkan untuk berhutang, ada yang mempertimbangkan mencari kerja," urainya.

UNY bergerak pun turut membantu sejumlah mahasiswa lewat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk berkomunikasi dengan pihak rektorat terkait pengajuan penyesuaian besaran UKT.

Mushab menuturkan, sudah mencoba berbagai metode. Termasuk metode yang disampaikan oleh Rektor UNY Sumaryanto. Namun, hasilnya tetaplah tidak sesuai yang diharapkan.

"Beberapa metode sudah kita coba termasuk yang sempat disampaikan oleh rektor, terkait dengan datang langsung, terkait dengan temui langsung gitu kan pihak rektorat maupun fakultas. Tapi ternyata hasilnya macam-macam, ada yang diabaikan, ada yang dilempar-lempar sana sini, ada bahkan yang tanggapan responya itu kurang sopan atau kurang enak didengar lah," tandasnya.

Menurut Mushab, dulu ada skema pemotongan besaran UKT karena kondisi pandemi Covid. Namun sekarang skema tersebut sudah diubah.

Saat ini skema pemotongan UKT yang ada apabila orangtua meninggal atau usahanya bangkrut. Kemudian mahasiswa semester akhir, yang sudah akan yudisium atau akan tugas akhir.

"Sementara mahasiswa-mahasiswa lain yang kondisi (ekonomi keluarganya) memburuk tidak bisa melakukan penyesuaian sama sekali. Kecuali itu tadi, dengan skema case by case yang tidak jelas juga pelaksanaanya. Mungkin dirasa sebagai jalan keluar singkat saja, padahal ternyata di lapangan case by case itu tidak berjalan," pungkasnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:


Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau