Hal ini, menurut Mushab, menunjukkan sejak awal penetapan UKT di UNY sudah tidak sesuai dengan kondisi real ekonomi keluarga mahasiswa.
"Itu menunjukan bahwa penetapan UKT dari awal ketika mahasiswa baru menempuh kuliah di UNY itu sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonominya," tegasnya.
UKT, lanjut Mushab, ditentukan saat awal masuk kuliah. UNY bergerak melihat ada permasalahan dalam rumusan yang digunakan untuk menetapkan besaran UKT.
Sebab, belum bisa mengukur kondisi ekonomi orangtua mahasiswa yang sebenarnya.
Sehingga besaran UKT yang ditetapkan, tidak sesuai dengan kondisi ekonomi orang tua mahasiswa.
"Kami menilai indikator yang disediakan di UNY itu belum bisa mengukur kondisi ekonomi yang sebenarnya dibuktikan dengan ada rumusan-rumusan tadi yang kok bisa mahasiswa dengan kondisi real ekonomi mahasiswa tidak mampu ternyata mendapatkan UKT tinggi, meskipun sudah mengikuti prosedur yang sudah disediakan UNY dengan jujur," tegasnya.
Mushab mengungkapkan mahasiswa semester pertama tidak bisa mengajukan penyesuaian besaran UKT. Mahasiswa bisa mengajukan penyesuaian besaran UKT pada saat semester kedua.
Pengajuan penyesuaian UKT yang disetujui pun tidak lantas besaranya diturunkan signifikan atau disesuaikan dengan kondisi ekonomi orangtua yang sebenarnya. Rata-rata penyesuaian hanya turun satu tingkat golongan saja.
"Misal ketika keluarga ekonominya sudah menurun drastis, penghasilannya menurun drastis, bahkan hingga berutang gitu, tapi penurunan yang diterima hanya 1 golongan. Kan itu skema satu ya, skema orangtua meninggal atau bangkrut, hanya penurunan satu golongan," bebernya.
Dari hasil survei yang dilakukan, ada ratusan mahasiswa UNY yang menyatakan akan mengambil cuti. Hal itu, karena besaran UKT yang tinggi dan tidak seusai dengan kondisi real ekonomi orang tuanya.
"Kemarin juga disurvei, 160 orang lebih mahasiswa UNY menyatakan ingin cuti atau mempertimbangkan melakukan cuti karena kurang mampu membayar UKT dari survei kami," tegasnya.
Mushab menuturkan ada juga beberapa mahasiswa yang menceritakan mempertimbangkan berhenti kuliah. Ada pula yang mempertimbangkan kerja paruh waktu, karena kondisi ekonomi keluarganya memburuk.
"Saat kita mengecek satu-persatu dari 1.000-an itu, setidaknya ada 3-an yang kita lihat kasusnya. Dari berbagai kasus, ada yang mempertimbangkan cuti, ada yang mempertimbangkan untuk berhutang, ada yang mempertimbangkan mencari kerja," urainya.
UNY bergerak pun turut membantu sejumlah mahasiswa lewat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk berkomunikasi dengan pihak rektorat terkait pengajuan penyesuaian besaran UKT.
Mushab menuturkan, sudah mencoba berbagai metode. Termasuk metode yang disampaikan oleh Rektor UNY Sumaryanto. Namun, hasilnya tetaplah tidak sesuai yang diharapkan.
"Beberapa metode sudah kita coba termasuk yang sempat disampaikan oleh rektor, terkait dengan datang langsung, terkait dengan temui langsung gitu kan pihak rektorat maupun fakultas. Tapi ternyata hasilnya macam-macam, ada yang diabaikan, ada yang dilempar-lempar sana sini, ada bahkan yang tanggapan responya itu kurang sopan atau kurang enak didengar lah," tandasnya.
Menurut Mushab, dulu ada skema pemotongan besaran UKT karena kondisi pandemi Covid. Namun sekarang skema tersebut sudah diubah.
Saat ini skema pemotongan UKT yang ada apabila orangtua meninggal atau usahanya bangkrut. Kemudian mahasiswa semester akhir, yang sudah akan yudisium atau akan tugas akhir.
"Sementara mahasiswa-mahasiswa lain yang kondisi (ekonomi keluarganya) memburuk tidak bisa melakukan penyesuaian sama sekali. Kecuali itu tadi, dengan skema case by case yang tidak jelas juga pelaksanaanya. Mungkin dirasa sebagai jalan keluar singkat saja, padahal ternyata di lapangan case by case itu tidak berjalan," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.