Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesaksian Mahasiswa UNY Kesulitan Bayar UKT, Kerja Sampingan Jadi Buruh hingga Jual Sapi

Kompas.com - 17/01/2023, 16:50 WIB
Wijaya Kusuma,
Khairina

Tim Redaksi

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Gerakan kolektif UNY Bergerak mengelar forum diskusi terkait dengan permasalahan uang kuliah tunggal (UKT).

Di dalam diskusi yang digelar di salah satu cafe di Sleman ini,  beberapa mahasiswa UNY menceritakan kisah getir mereka menjadi korban UKT.

Humas UNY Bergerak Opal mengatakan, kegiatan ini menindaklanjuti dari utas yang ditulis oleh Ganta di media sosial.

"Awalnya kita membuat acara ini itu tidak terencana secara sistematis gitu, kemudian thread-nya Ganta itu muncul dan kemudian dari teman-teman UNY bergerak itu merencang sebuah gerakan yang nggak melulu soal demonstrasi," ujar Humas UNY Bergerak,Opal saat ditemui di sela-sela diskusi, Senin (16/01/2023) malam.

Baca juga: Mahasiswi UNY Perjuangkan Keringanan UKT Meninggal Saat Cuti Kuliah, Rektor: Belum Tentu karena Mikir UKT

Demonstrasi tentang besaran UKT yang mencekik mahasiswa sudah sering dilakukan.

Namun tidak ada perubahan sistem dan UKT tetap saja masih menjadi momok bagi mahasiswa pada setiap semesternya.

"Hal itu sudah bertahun-tahun dilakukan dan kampus sampai hari ini masih bebal sama demonstrasi-demonstrasi. Dan berbagai macam represif ketika demonstrasi itu juga kami rasakan," tandasnya.

Opal mengungkapkan, UNY Bergerak dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi UNY telah melakukan survei.

Hasil survei 97 persen dari 1.000 an mahasiswa yang mengisi survei menyatakan keberatan dengan golongan (UKT) mereka.

Kemudian, berangkat dari survei itu muncul tema yang diusung dalam forum diskusi ini yakni Revolusi Pesawat Kertas. Pesawat kertas ini merupakan simbol dari harapan-harapan.

"Di akhir acara ini ada acara simbolis (menerbangkan) pesawat kertas yang di dalamnya ada kisah-kisah dari teman-teman kita. Harapannya revolusi pesawat kertas ini bisa sebagai simbol harapan bahwa pendidikan harus gratis, murah dan teman-teman yang berhenti kuliah bisa kembali kuliah lagi," ungkapnya.

Baca juga: Mahasiswi UNY dari Keluarga Miskin di Purbalingga Ini Meninggal Saat Perjuangkan Keringanan UKT

Korban ketidaksesuaian nominal UKT dengan kondisi ekonomi keluarga tidak hanya dialami satu orang mahasiswa. Namun ada banyak mahasiswa yang merasakan hal yang sama.

Beberapa mahasiswa itu pun, dihadirkan untuk menceritakan kisah mereka menjadi korban tingginya nominal UKT.

"Dari empat kisah ada yang sampai jual sapi, jual motor, untuk bayar UKT, berutang bank, sampai putus kuliah, bahkan sampai dua semester cuti. Ada yang bekerja part time pun tidak memenuhi membayar UKT. Itu kan ada permasalahan yang sebenarnya sistematis di sini, soal UKT di UNY," jelasnya.

Opal mengungkapkan mungkin orang  melihat jika UKT di UNY tidak mahal dibandingkan kampus-kampus lain. Namun, menurut Opal, permasalahan bukan pada mahal dan tidak mahal.

"Ini bukan permasalahan mahal dan nggak mahal. Tapi kesesuaian terhadap kondisi ekonomi orangtuanya yang dipertimbangkan," urainya.

Salah satu tuntutan untuk pihak kampus UNY adalah adanya penyesuaian UKT pada setiap semester. Sebab, kondisi ekonomi keluarga saat ini belum stabil usai terdampak pandemi.

"Ini kan baru dalam transisi pandami ke endemi kan, sedangkan kondisi sosial ekonomi orangtua mahasiswa itu belum menentu, apalagi di 2023 ada kemungkinan resesi. Itu yang kami pertimbangkan harus ada penyesuaian UKT di setiap semester," jelasnya.

Selain itu, harapannya penyesuaian UKT tidak hanya turun satu golongan. Namun penurunanya disesuaikan dengan kondisi real ekonomi keluarga mahasiswa.

"Harapanya enggak cuma satu golongan yang turun. Benar-benar turun seusai kondisi mahasiswa. Kalau memang harus turun satu juta dua juta ya kasihlah," ucapnya.

Kesaksian mahasiswa

Forum diskusi ini juga menghadirkan kesaksian-kesaksian dari beberapa mahasiswa UNY yang menjadi korban UKT.

Mereka menceritakan tentang pahit getir kesulitannya membayar UKT yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya.

Salah satu mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu menceritakan, awalnya membayangkan biaya kuliah di UNY murah sehingga bisa dijangkau oleh mahasiswa dari desa dengan ekonomi kurang mampu sepertinya.

"Bapak saya bekerja sebagai serabutan tapi lebih sering bekerja di angkringan, ibu buruh pabrik," ujar mahasiswa yang tidak menyebutkan namanya tersebut dalam kesaksianya.

Baca juga: Mahasiswi UNY asal Purbalingga Meninggal Saat Perjuangkan UKT, Disdik: Harusnya Dikawal sejak Daftar

Mahasiswa ini mengungkapkan masuk UNY masih masa pandemi. Kondisi tersebut berdampak pada pendapatan orangtuanya.

Pendapatan orangtua terpotong cukup banyak. Penghasilan dari angkringan tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pembeli berkurang cukup banyak.

"Ibu juga terkena dampak pandemi karena ibu saya karyawan swasta di salah satu pabrik lalu diberikan cuti berapa hari dan masuk lagi jadi gaji terpotong cukup banyak dan bahkan enggak sampai UMR juga," ungkapnya.

Ia mengaku mendapatkan UKT sebesar Rp 4,2 juta. Melihat kondisi ekonomi orangtuanya, nominal UKT tersebut menurutnya sangat tinggi.

"Ibu Bapak sempat cerita berdua tentang nasib pendidikan saya, mereka bercerita mengenai apakah saya besok bisa membayar UKT di semester depan. Ketika saya tahu cerita itu, saya merasa ini sangat ironi karena mereka menginginkan saya untuk kuliah," urainya.

Mendengar hal itu, ia kemudian menyampaikan kepada orang tuanya akan mencoba mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai kuliah.

"Pada semester 1 dan 2 sempet melakukan pekerjaan sampingan juga sebagai buruh di salah satu perusahaan perkebunan," jelasnya.

Pada saat kondisi pandemi, orangtuanya terpaksa menjual sapi untuk membayar uang kuliahnya. Padahal sapi tersebut merupakan tabungan orang tuanya untuk biaya sekolah adiknya.

"Singkat cerita bapak saya menjual sapi, dan cukup sedih karena dia menjual sapi itu yang mana sebagai salah satu barang berharga untuk tabungan nanti tapi malah dijual sekarang," ucapnya.

Bahkan, mahasiswa ini juga mengaku harus menjual motor demi bisa membayar biaya kuliah. Peristiwa itu terjadi saat awal kuliah di UNY.

"Kita harus mencoba mendorong agar kebijakan di UNY khususnya berubah agar menjadi satu kampus yang lebih ramah temen-temen yang mau kuliah di situ," tandasnya.

Tak hanya satu mahasiswa ini. Ada juga mahasiswa yang mengambil cuti karena tidak mampu membayar UKT.

Bahkan ada juga yang memutuskan untuk berhenti kuliah karena pengajuan penurunan UKT tidak disetujui. Padahal waktu itu, kondisi ekonomi orang tuanya sedang mengalami penurunan yang signifikan.

Mahasiswa keberatan

Gerakan kolektif UNY Bergerak dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi UNY melakukan survei kesesuaian UKT di kampus mereka.

Survei dimulai dari tanggal 21 Desember 2022 hingga 2 Januari 2023 dengan menggunakan rumus Slovin. Metode yang digunakan dalam survei ini adalah sampel acak dengan media Google formulir.

Hasil survei, sebanyak 97 persen dari seribuan mahasiswa aktif yang mengisi survei merasa keberatan dengan golongan UKT yang ditetapkan kampus.

"Dari survei kami, dari UNY Bergerak dan juga LPM Ekspresi itu 97 persen menyatakan keberatan dengan golongan (UKT)," ujar salah satu anggota tim pengkaji UNY Bergerak Mushab Aulia Yahya, Sabtu (14/1/2023).

Mahasiswa yang mengisi angket survei tersebut mulai dari angkatan 2019 hingga 2022.

Mahasiswa yang mengisi survei juga representasi dari setiap fakultas, jurusan hingga setiap jalur masuk UNY.

Dari 97 persen yang disurvei tersebut menyatakan keberatan, 50 persennya merupakan mahasiswa angkatan 2022 atau mahasiswa baru.

Hal ini, menurut Mushab, menunjukkan sejak awal penetapan UKT di UNY sudah tidak sesuai dengan kondisi real ekonomi keluarga mahasiswa.

"Itu menunjukan bahwa penetapan UKT dari awal ketika mahasiswa baru menempuh kuliah di UNY itu sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonominya," tegasnya.

UKT, lanjut Mushab, ditentukan saat awal masuk kuliah. UNY bergerak melihat ada permasalahan dalam rumusan yang digunakan untuk menetapkan besaran UKT.

Sebab, belum bisa mengukur kondisi ekonomi orangtua mahasiswa yang sebenarnya.

Sehingga besaran UKT yang ditetapkan, tidak sesuai dengan kondisi ekonomi orang tua mahasiswa.

"Kami menilai indikator yang disediakan di UNY itu belum bisa mengukur kondisi ekonomi yang sebenarnya dibuktikan dengan ada rumusan-rumusan tadi yang kok bisa mahasiswa dengan kondisi real ekonomi mahasiswa tidak mampu ternyata mendapatkan UKT tinggi, meskipun sudah mengikuti prosedur yang sudah disediakan UNY dengan jujur," tegasnya.

Mushab mengungkapkan mahasiswa semester pertama tidak bisa mengajukan penyesuaian besaran UKT. Mahasiswa bisa mengajukan penyesuaian besaran UKT pada saat semester kedua.

Pengajuan penyesuaian UKT yang disetujui pun tidak lantas besaranya diturunkan signifikan atau disesuaikan dengan kondisi ekonomi orangtua yang sebenarnya. Rata-rata penyesuaian hanya turun satu tingkat golongan saja.

"Misal ketika keluarga ekonominya sudah menurun drastis, penghasilannya menurun drastis, bahkan hingga berutang gitu, tapi penurunan yang diterima hanya 1 golongan. Kan itu skema satu ya, skema orangtua meninggal atau bangkrut, hanya penurunan satu golongan," bebernya.

Terpaksa cuti kuliah

Dari hasil survei yang dilakukan, ada ratusan mahasiswa UNY yang menyatakan akan mengambil cuti. Hal itu, karena besaran UKT yang tinggi dan tidak seusai dengan kondisi real ekonomi orang tuanya.

"Kemarin juga disurvei, 160 orang lebih mahasiswa UNY menyatakan ingin cuti atau mempertimbangkan melakukan cuti karena kurang mampu membayar UKT dari survei kami," tegasnya.

Mushab menuturkan ada juga beberapa mahasiswa yang menceritakan mempertimbangkan berhenti kuliah. Ada pula yang mempertimbangkan kerja paruh waktu, karena kondisi ekonomi keluarganya memburuk.

"Saat kita mengecek satu-persatu dari 1.000-an itu, setidaknya ada 3-an yang kita lihat kasusnya. Dari berbagai kasus, ada yang mempertimbangkan cuti, ada yang mempertimbangkan untuk berhutang, ada yang mempertimbangkan mencari kerja," urainya.

UNY bergerak pun turut membantu sejumlah mahasiswa lewat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk berkomunikasi dengan pihak rektorat terkait pengajuan penyesuaian besaran UKT.

Mushab menuturkan, sudah mencoba berbagai metode. Termasuk metode yang disampaikan oleh Rektor UNY Sumaryanto. Namun, hasilnya tetaplah tidak sesuai yang diharapkan.

"Beberapa metode sudah kita coba termasuk yang sempat disampaikan oleh rektor, terkait dengan datang langsung, terkait dengan temui langsung gitu kan pihak rektorat maupun fakultas. Tapi ternyata hasilnya macam-macam, ada yang diabaikan, ada yang dilempar-lempar sana sini, ada bahkan yang tanggapan responya itu kurang sopan atau kurang enak didengar lah," tandasnya.

Menurut Mushab, dulu ada skema pemotongan besaran UKT karena kondisi pandemi Covid. Namun sekarang skema tersebut sudah diubah.

Saat ini skema pemotongan UKT yang ada apabila orangtua meninggal atau usahanya bangkrut. Kemudian mahasiswa semester akhir, yang sudah akan yudisium atau akan tugas akhir.

"Sementara mahasiswa-mahasiswa lain yang kondisi (ekonomi keluarganya) memburuk tidak bisa melakukan penyesuaian sama sekali. Kecuali itu tadi, dengan skema case by case yang tidak jelas juga pelaksanaanya. Mungkin dirasa sebagai jalan keluar singkat saja, padahal ternyata di lapangan case by case itu tidak berjalan," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Ganjar Pindah ke Sleman, Sering Lari Pagi dan Bersepeda

Ganjar Pindah ke Sleman, Sering Lari Pagi dan Bersepeda

Yogyakarta
Hilang di Sungai Oya Gunungkidul, Siswa SD Dicari Menggunakan Drone

Hilang di Sungai Oya Gunungkidul, Siswa SD Dicari Menggunakan Drone

Yogyakarta
30 Kilogram Bahan Petasan di Bantul Disita, 3 Orang Ditangkap

30 Kilogram Bahan Petasan di Bantul Disita, 3 Orang Ditangkap

Yogyakarta
Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok : Siang Hujan Sedang

Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok : Siang Hujan Sedang

Yogyakarta
Prakiraan Cuaca Solo Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok : Siang Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Solo Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok : Siang Hujan Ringan

Yogyakarta
Ratusan Hewan di Gunungkidul Divaksinasi Antraks

Ratusan Hewan di Gunungkidul Divaksinasi Antraks

Yogyakarta
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Jawa Tengah, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Jawa Tengah, 29 Maret 2024

Yogyakarta
Yogyakarta Peringkat Empat Tujuan Mudik Lebaran, Polda DIY Siapkan Rekayasa Lalu Lintas

Yogyakarta Peringkat Empat Tujuan Mudik Lebaran, Polda DIY Siapkan Rekayasa Lalu Lintas

Yogyakarta
Kantor Disnakertrans DIY Digeruduk Massa, Didesak soal Penerbitan SE Gubernur untuk THR bagi Ojol dan PRT

Kantor Disnakertrans DIY Digeruduk Massa, Didesak soal Penerbitan SE Gubernur untuk THR bagi Ojol dan PRT

Yogyakarta
Saat Ganjar Pranowo Resmi Ber-KTP Sleman...

Saat Ganjar Pranowo Resmi Ber-KTP Sleman...

Yogyakarta
Jelang Lebaran, Polres Gunungkidul Siapkan Satgas Ganjal Ban

Jelang Lebaran, Polres Gunungkidul Siapkan Satgas Ganjal Ban

Yogyakarta
Analisis Gempa Magnitudo 5,0 di Gunungkidul Hari Ini, Dirasakan hingga Pacitan dan Trenggalek

Analisis Gempa Magnitudo 5,0 di Gunungkidul Hari Ini, Dirasakan hingga Pacitan dan Trenggalek

Yogyakarta
Gempa Magnitudo 5,0 Guncang Gunungkidul, Tak Berpotensi Tsunami

Gempa Magnitudo 5,0 Guncang Gunungkidul, Tak Berpotensi Tsunami

Yogyakarta
Organda DIY Larang Bus Pasang Klakson Telolet, 'Ngeyel' Bakal Dicopot

Organda DIY Larang Bus Pasang Klakson Telolet, "Ngeyel" Bakal Dicopot

Yogyakarta
Fakta di Balik Fenomena Munculnya Gundukan Lumpur di Grobogan Pascagempa Tuban

Fakta di Balik Fenomena Munculnya Gundukan Lumpur di Grobogan Pascagempa Tuban

Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com