Salah satu mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu menceritakan, awalnya membayangkan biaya kuliah di UNY murah sehingga bisa dijangkau oleh mahasiswa dari desa dengan ekonomi kurang mampu sepertinya.
"Bapak saya bekerja sebagai serabutan tapi lebih sering bekerja di angkringan, ibu buruh pabrik," ujar mahasiswa yang tidak menyebutkan namanya tersebut dalam kesaksianya.
Baca juga: Mahasiswi UNY asal Purbalingga Meninggal Saat Perjuangkan UKT, Disdik: Harusnya Dikawal sejak Daftar
Mahasiswa ini mengungkapkan masuk UNY masih masa pandemi. Kondisi tersebut berdampak pada pendapatan orangtuanya.
Pendapatan orangtua terpotong cukup banyak. Penghasilan dari angkringan tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pembeli berkurang cukup banyak.
"Ibu juga terkena dampak pandemi karena ibu saya karyawan swasta di salah satu pabrik lalu diberikan cuti berapa hari dan masuk lagi jadi gaji terpotong cukup banyak dan bahkan enggak sampai UMR juga," ungkapnya.
Ia mengaku mendapatkan UKT sebesar Rp 4,2 juta. Melihat kondisi ekonomi orangtuanya, nominal UKT tersebut menurutnya sangat tinggi.
"Ibu Bapak sempat cerita berdua tentang nasib pendidikan saya, mereka bercerita mengenai apakah saya besok bisa membayar UKT di semester depan. Ketika saya tahu cerita itu, saya merasa ini sangat ironi karena mereka menginginkan saya untuk kuliah," urainya.
Mendengar hal itu, ia kemudian menyampaikan kepada orang tuanya akan mencoba mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai kuliah.
"Pada semester 1 dan 2 sempet melakukan pekerjaan sampingan juga sebagai buruh di salah satu perusahaan perkebunan," jelasnya.
Pada saat kondisi pandemi, orangtuanya terpaksa menjual sapi untuk membayar uang kuliahnya. Padahal sapi tersebut merupakan tabungan orang tuanya untuk biaya sekolah adiknya.
"Singkat cerita bapak saya menjual sapi, dan cukup sedih karena dia menjual sapi itu yang mana sebagai salah satu barang berharga untuk tabungan nanti tapi malah dijual sekarang," ucapnya.
Bahkan, mahasiswa ini juga mengaku harus menjual motor demi bisa membayar biaya kuliah. Peristiwa itu terjadi saat awal kuliah di UNY.
"Kita harus mencoba mendorong agar kebijakan di UNY khususnya berubah agar menjadi satu kampus yang lebih ramah temen-temen yang mau kuliah di situ," tandasnya.
Tak hanya satu mahasiswa ini. Ada juga mahasiswa yang mengambil cuti karena tidak mampu membayar UKT.
Bahkan ada juga yang memutuskan untuk berhenti kuliah karena pengajuan penurunan UKT tidak disetujui. Padahal waktu itu, kondisi ekonomi orang tuanya sedang mengalami penurunan yang signifikan.
Gerakan kolektif UNY Bergerak dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi UNY melakukan survei kesesuaian UKT di kampus mereka.
Survei dimulai dari tanggal 21 Desember 2022 hingga 2 Januari 2023 dengan menggunakan rumus Slovin. Metode yang digunakan dalam survei ini adalah sampel acak dengan media Google formulir.
Hasil survei, sebanyak 97 persen dari seribuan mahasiswa aktif yang mengisi survei merasa keberatan dengan golongan UKT yang ditetapkan kampus.
"Dari survei kami, dari UNY Bergerak dan juga LPM Ekspresi itu 97 persen menyatakan keberatan dengan golongan (UKT)," ujar salah satu anggota tim pengkaji UNY Bergerak Mushab Aulia Yahya, Sabtu (14/1/2023).
Mahasiswa yang mengisi angket survei tersebut mulai dari angkatan 2019 hingga 2022.
Mahasiswa yang mengisi survei juga representasi dari setiap fakultas, jurusan hingga setiap jalur masuk UNY.
Dari 97 persen yang disurvei tersebut menyatakan keberatan, 50 persennya merupakan mahasiswa angkatan 2022 atau mahasiswa baru.