KOMPAS.com - Di era yang serba modern, Sri Hartini masih teguh memegang adat dan budaya. Meski nirupah, dia tak henti melestarikan Hutan Adat Wonosadi di Gunungkidul, Yogyakarta. Semua dilakukan demi kelestarian alam dan menjaga mata air dan bukan air mata yang mengalir. Hal itu ia lakukan seperti pesan mendiang ayahnya.
Cuaca di sekitar Hutan Adat Wonosadi cerah di pertengahan Maret itu.
Burung-burung berkicau dari balik rimbunnya pepohonan. Penduduk sekitar hutan yang mayoritas petani, sudah turun ke sawah. Mereka berjajar rapi, membungkuk dan berjalan mundur untuk menanam padi. Menandai, musim tanam padi sawah sudah mulai.
Baca juga: Serikat Pekerja Perhutani Minta Kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus Dikaji Ulang
Tak jauh dari mereka, seorang perempuan paruh baya, duduk di teras rumah sembari mengenakan sepatu. Sri Hartini, namanya. Setelah sepatu terpasang, dia berdiri sambil memandangi birunya langit dan bergegas berangkat ke Hutan Adat Wonosadi yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumahnya.
"Semoga tidak hujan. Kalau siang terkadang tiba-tiba mendung dan langsung hujan," ujarnya kepada wartawan Furqon Ulya Himawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (14/03).
Sri, panggilan karibnya, sebenarnya tak muda lagi. Usianya sudah 53 tahun. Tapi dia tetap bersemangat masuk ke Hutan Adat Wonosadi untuk mengecek tanaman; membersihkan saluran air yang tersumbat daun; dan memastikan semuanya tetap terjaga kelestariannya.
Baca juga: BRIN Gunakan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau
Ini sudah menjadi aktivitas Sri saban hari dalam 10 tahun terakhir. Masuk-keluar hutan, menjalankan pesan almarhum bapaknya, Sudiyo, untuk menjaga kelestarian hutan dan memastikan sumber mata air tetap mengalir.
"Bapak menitipkan kata-kata yang menggugah hati saya. Jangan meninggalkan air mata kepada anak cucu, tapi tinggalkanlah mata air untuk anak cucu kita," ujar Sri, mengenang wasiat bapaknya yang meninggal pada 2011.
Semasa hidupnya, Sudiyo, ayah Sri adalah perintis pelestarian Hutan Adat Wonosadi yang nyaris gundul karena pembalakan liar pada 1965-1966. Kala itu, masyarakat yang mayoritas petani pun sering kekurangan air dan gagal panen.
Baca juga: 10 Manfaat Hutan Mangrove bagi Lingkungan dan Makhluk Hidup
Akhirnya bersama masyarakat lainnya, mereka bersepakat memulihkan hutan, dan membuat kelompok jagawana bernama Ngudi Lestari. Sudiyo menjadi ketuanya.
"Bapak saya yang merintis bagaimana menghijaukan Wonosadi kembali," kenang Sri.
Setiap Sudiyo ke hutan, Sri kecil selalu ikut. Dari situlah Sri belajar mengenal dan melestarikan alam, juga mempelajari seluk-beluk ekosistem Hutan Adat Wonosadi.
"Saya jadi tahu apa saja yang kelompok jagawana lakukan," ujarnya.
Usaha Sudiyo dan kelompok jagawananya sukses, Hutan Adat Wonosadi kembali hijau dan sumber airnya terus mengalir.
Sri kecil yang dulu sering ikut ke hutan, sekarang menjadi penerus ketua jagawana, menggantikan bapaknya yang telah meninggal dunia.
Baca juga: Demo Mahasiswa di Sorong, Tolak Jabatan Presiden 3 Periode hingga Kelestarian Hutan Papua