Tak sampai lima menit berjalan kaki, Sri sampai di pintu masuk Hutan Adat Wonosadi. Ia mengeluarkan arit yang dibawanya dari rumah lalu mulai membersihkan sampah.
Sri sejenak memperhatikan sekitarnya, lalu masuk ke dalam rimbunnya pohon, melakukan apa yang dulu setiap hari dilakukan mendiang bapaknya.
"Dulu banyak yang menyangsikan saya sebagai ketua jagawana karena saya perempuan," kenangnya.
Mulanya Sri menolak menjadi ketua jagawana Hutan Adat Wonosadi. Tanggung jawabnya tidak ringan, dan harus memimpin 25 orang jagawana lainnya yang mayoritas laki-laki.
Baca juga: Cerita Petugas Menginap 2 Malam di Hutan demi Padamkan Api Karhutla di Rokan Hulu
Tapi setiap orang yang terpilih merasa tidak sanggup, sampai hampir setahun tidak ada yang mau menjadi ketua jagawana.
"Pada tidak mau. Setiap orang yang ditunjuk, mengaku belum sanggup dan tidak mampu," ujar Sri.
Wasiat bapaknya untuk terus menjaga hutan kembali terngiang. Pesan itulah yang menggugah Sri dan memotivasinya untuk mau menjadi ketua jagawana.
"Mau tidak mau, saya sanggup. Dengan niat bismillah, insya Allah, Tuhan meridai niat baik kita yang ingin melestarikan alam," ujarnya.
Baca juga: Mahasiswi Ditemukan Tewas di Pondok Tengah Hutan, Polisi Duga Korban Pembunuhan
Sudiyo, sebut Sri, memang tidak pernah memintanya menjadi jagawana. Tapi ketika sakit dan dirawat di ICU, Sudiyo memegang tangan Sri, meminta agar Sri menjaga kesenian dan kelestarian Hutan Adat Wonosadi.
Meski sempat mendapat penyangsian, Sri tetap bertekad melanjutkan rintisan bapaknya. Berbekal niat baik dan pengalaman selama mengikuti aktivitas bapaknya di hutan, Sri membuktikan dia bisa menjaga kelestarian hutan sampai sekarang.
"Yang penting bagaimana hutan lestari, bisa menghasilkan mata air untuk kehidupan sehari-hari; bermanfaat untuk kesejukan udara, pertanian, dan sebagainya," ujar Sri.
Baca juga: Sembunyi 2 Bulan di Hutan, Tersangka Kasus Bom Ikan Meledak yang Tewaskan 1 Orang Ditangkap
Menurut Sri Hartini, lima hektar dari pintu masuk sampai penghabisan tangga menjadi kawasan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati). Di kawasan ini, jagawana menanam buah-buahan yang bisa dimakan hewan-hewan di Hutan Adat Wonosadi, seperti monyet ekor panjang.
Sedangkan yang 20 hektar sisanya dibiarkan menjadi hutan belantara. Sehingga ketika masuk ke dalam menuju Lembah Ngenuman, terasa seperti melewati lorong.
Baca juga: Bangun IKN, Pemerintah Diminta Petakan Tata Ruang Hutan Adat
Di situ terdapat pohon khas Hutan Adat Wonosadi yang umurnya sudah ratusan tahun: asam jawa (Tamarindus indica). Besar pohon itu setara dengan 7 orang bergandengan.
Selain pohon khas yang berusia ratusan tahun, Hutan Adat Wonosadi juga menyimpan tumbuhan yang berkhasiat untuk obat. Seperti tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dan tanaman obat langka buah buni/wuni (Antidesma bunins) yang masyarakat sekitar menyebutnya dengan daun mojar.
Secara administratif, sebelah utara Hutan Adat Wonosadi berbatasan dengan Dusun Gunung Gambar, Kelurahan Kampung, Kecamatan Ngawen. Sebelah timur, berbatasan dengan Dusun Suru, Kelurahan Kampung, Kecamatan Ngawen. Dan sebelah barat berbatasan dengan Dusun Natah, Kelurahan Papringan, Kecamatan Nglipar.
"Itu satu-satunya hutan adat di DIY dan terletak di Gunungkidul," kata Raditia Nugraha dari bagian Rehabilitasi Hutan dan Lahan (DLHK) Yogyakarta.
Baca juga: Raih Kalpataru 2020, Bukti Kukuhnya Masyarakat Dayak Punan Menjaga Hutan Adat
Di sini, masyarakat masih memegang teguh adat dan budayanya.
Radia mengaku pernah melakukan penelitian di sana dan mendapati bahwa masyarakatnya sangat percaya pada hukum adat yang tidak tertulis. Misalnya, masyarakat tidak berani mengambil sesuatu dari hutan karena bisa menimbulkan malapetaka.