Setiap tahun, warga Desa Beji menggelar upacara adat Sadranan. Pelaksanaannya setiap habis panen padi sawah, atau padi yang ditanam setelah musim hujan seperti saat ini. Sadranan merupakan acara adat sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang berlimpah, dan kelestarian alam.
Masyarakat membawa hasil panen dan aneka makanan ke Lembah Ngenuman. Setelah berdoa, makanan yang mereka bawa disantap bersama, sebagai bentuk kebersamaan untuk menyambung tali persaudaraan.
"Kami bersyukur kepada Yang Kuasa karena bisa panen dan berharap besok bisa panen lagi dengan hasil yang melimpah," ujar Sri.
Baca juga: Kisah Pilu Habisnya Hutan Adat di Papua demi Perluasan Lahan Kelapa Sawit...
Setiap acara adat yang diselenggarakan, seperti Sedekah Bumi, Bersih Dusun dan Sadranan, masyarakat juga memainkan alat musik rinding gumbeng. Ini adalah musik khas Gunungkidul yang sampai sekrang masih dilestarikan di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul.
"Pada jaman dahulu untuk mengiringi upacara adat," kata Sri yang juga menjadi ketua Kelompok Seni Rinding Gumbeng, Ngluri Seni.
Alat musik ini terbuat dari kulit bambu. Lebarnya seukuran dua jari dan panjangnya sekitar 15-20cm. Ada benangnya di bagian ujung. Jika ditarik-tarik maka akan mengeluarkan suara khas: beung… beung…. beung….
Baca juga: Kisah Pilu Habisnya Hutan Adat di Papua demi Perluasan Lahan Kelapa Sawit...
Terlaksananya upacara adat Sadranan dan lestarinya alat musik rinding rumbeng, tak lain karena masyarakat Beji masih percaya pada hukum adat dan memegang teguh warisan leluhur.
Masyarakat sekitar hutan juga percaya dengan cerita tutur dari nenek moyang mereka yang tinggal di sekitar Hutan Adat Wonosadi.
Menurut Sri, Hutan Adat Wonosadi adalah petilasan dari keturunan kerajaan Majapahit, Raja Brawijaya V.
Baca juga: Perjuangan Warga Kampung Long Isun Lawan Alih Fungsi Lahan demi Lestarinya Hutan Adat
Saat Majapahit kalah perang melawan Demak, istri selir Raja Brawajiya V, Rara Resmi melarikan diri ke wilayah Hutan Wonosadi, bersama kedua anaknya: Onggoloco dan Gadhingmas.
"Mereka lalu mendirikan padepokan di Lembah Ngenuman. Itu pelataran yang sekarang sering digunakan acara adat Sadranan," ujar Sri.
Saat Hutan Wonosadi mengalami pembalakan liar, hanya tersisa empat pohon di Lembah Ngenuman. Sampai sekarang, keempat pohon besar itu masih ada.
"Itu yang masih kita lestarikan. Dan setahun sekali melakukan upacara adat Sadranan," ujar Sri.
Wonosadi sendiri secara harafiah berarti 'hutan yang penuh rahasia'. Menurut Sri, Wono artinya hutan, dan Sadi berasal dari kata sandi.
Baca juga: Tebang Pohon di Hutan Adat, Seorang Warga Dikenai Denda Seekor Kerbau
"Hutan yang banyak rahasia. Dan kita masih memegang adat serta rahasianya," imbuhnya.
Sri sendiri menyadari bahwa masyarakat masih percaya dan takut dengan hukum adat di Desa Beji.
Kata dia, dulu ketika Sri masih kecil dan sebelum ada listrik, Hutan Wonosadi tampak seperti Keraton yang megah. "Setiap malam seperti ada lampu yang terang dalam hutan dan suara gamelan," kata dia.
"Saya melihat dan merasakan sendiri," ujar Sri yang bisa melihat hutan dari rumahnya.
Bahkan waktu terjadi pembalakan liar, kisah Sri, setiap malam seperti terdengar lolongan serigala. Warga percaya, serigala itu menjaga pohon-pohon yang ditebang dan para pembalak liar akan mendapat celaka.
"Masyarakat sini sangat takut dengan hukum adatnya," imbuh Sri.
Baca juga: Pembabatan Hutan Adat di Maluku, Pemprov dan Perusahaan Beda Pendapat soal Izin
Mereka takut mendapat celaka akibat merusak lingkungan dan pembalakan liar. Masyarakat takut, sawah mereka kering dan terjadi pagebluk, seperti kejadian pada 1965-1966.
Sebagai ketua jagawana, Sri selalu mengupayakan cara agar masyarakat mau bersama-sama menjaga kelestarian hutan. Dia dan jagawana lainnya berusaha menyadarkan orang-orang untuk mau menanam pohon di hutan agar bisa memperbesar sumber mata air dan menambah kesejukan udara.
Paling tidak, lanjut Sri, masyarakat harus bisa merasakan hasil hutan, seperti adanya sumber mata air yang terus mengalir.
Baca juga: Protes Pembabatan Hutan Adat di Pulau Seram, Mahasiswa Demo di Kantor DPRD
Hutan Adat Wonosadi kaya akan sumber mata air: seperti mata air Blebem, mata air Kalas, dan sumber mata air Sengon. Dari situ, Sri dapat memberikan bukti dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan.
"Itu menjadi sumber air minum dari rumah ke rumah, dan tidak akan kekurangan meski kemarau," ujarnya.
Lurah Kalurahan Beji Sri Idhayanti (45), mengaku sejauh ini kepercayaan adat yang tertanam secara turun-temurun amat membantu kelestarian hutan.
"Sampai sekarang hukum itu masih ampuh menjaga Wonosadi," katanya.
Tapi Lurah Beji yang menjabat di awal Januari 2020, ini, tak menutup mata pada perilaku masyarakat yang berani menangkap atau memburu hewan. Dan dia mengaku berniat membuat peraturan desa tentang perlindungan hutan dan pelestarian lingkungan.
"Ini baru niat. Kami akan membuat Perdes untuk menjaga kelestarian alam," katanya.
Baca juga: Temui Ketua DPRD Kaltim, Masyarakat Adat Long Isun Minta Pengakuan Hutan Adat