YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Warga Padukuhan Ngipik RT 01, Kalurahan Tegalrejo, Kapanewon Gedangsari, Gunungkidul, DI Yogyakarta, menjadi salah satu langganan kekeringan saat musim kemarau.
Bahkan, untuk saat ini mereka rela memanfaatkan air keruh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk mencapai Padukuhan Ngipik, Kompas.com harus melewati perbukitan terjal dan jalan bekas longsor.
Baca juga: Siaga Darurat Kekeringan Gunungkidul Diperpanjang hingga Akhir November
Memang jalan sudah lebih mudah dibandingkan beberapa tahun lalu, karena saat ini sudah menggunakan cor blok. Perlu tenaga kendaraan yang mumpuni dan konsentrasi ekstra untuk mencapai RT 01 ini, karena jalanan terjal.
Untuk menuju ke rumah warga mengambil air, Kompas.com harus melewati jalan setapak yang hampir semuanya ditutupi dedaunan kering karena kemarau yang sudah terjadi beberapa bulan terakhir.
Sisi kiri jalan jurang cukup curam dan dari lokasi itu bisa terlihat wilayah Klaten, Jawa Tengah.
Setelah berjalan kurang lebih lima menit dari lokasi parkir kendaraan, terlihat beberapa warga berteduh di bangunan tua sambil membuka bekal, dan mengasuh anak balita.
Rumah tua yang tersisa bagian belakang ini terlihat masih kokoh, di belakang rumah berjejer ember dan jeriken yang sudah terisi air. Airnya tidak bening, karena berwarna putih keruh.
Mereka menunggu air di ember supaya mengendap dan dimasukkan ke dalam jeriken atau ember kecil.
Menggunakan kain jarik, ibu-ibu ini menggendong jeriken menyusuri jalan setapak menuju ke rumahnya. Lalai sedikit nyawa menjadi taruhan, karena di sisi kiri terdapat jurang yang cukup dalam.
Ibu-ibu ini berjalan sekitar 15 sampai 20 menit untuk mencapai rumahnya. Ada tiga rumah yang dihuni beberapa orang.
"Sudah lama, semenjak saya lahir sudah ada. Ya kalau kemarau seperti ini terus, kebetulan pemilik rumah pindah ke Klaten, dan sumurnya boleh digunakan warga," kata Warga Ngipik, Hariyanti ditemui disela mengambil air Senin (9/10/2023).
Diakuinya, kondisi air keruh ini jika dimasak airnya berbau tanah. Namun, jika mengambil air yang kondisinya jernih harus berjalan kaki lebih lama sekitar 1 jam, dan kondisinya lebih ekstrim.
Setiap hari, pagi dan sore mereka mengambil air menggunakan jeriken dan ember. Kegiatan ini sudah mereka lakukan sejak bulan Juli 2023 lalu.
"Rasanya ya ada rasa tanahnya sedikit. Airnya digunakan untuk mandi, makan dan minum. Kalau mendingan didiamkan semalaman," ucap Hariyanti.