KOMPAS.com - Setiap tahun tepatnya di bulan Sapar dalam kalender Jawa, masyarakat di Yogyakarta akan menggelar Kirab Ageng Tradisi Adat Bekakak atau Saparan Bekakak.
Lokasi pelaksanaan Saparan Bekakak tepatnya di di Kalurahan Ambarketawang, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman.
Baca juga: Jenang Sapar: Tradisi, Makna, dan Resep
Waktu pelaksanaan Saparan Bekakak biasanya digelar pada hari Jumat antara tanggal 10 hingga tanggal 20 di bulan Sapar.
Bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia yang pada tradisi ini dilakukan dengan menggunakan tiruan manusia yang terbuat dari tepung ketan berwujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila.
Baca juga: Apa Itu Rebo Wekasan? Mengenal Berbagai Tradisi Tiap Rabu Terakhir di Bulan Safar
Acara Ini biasanya digelar meriah, sehingga masyarakat dan wisatawan akan antusias untuk datang dan menyaksikan prosesinya.
Daya tarik Saparan Bekakak adalah kemeriahan puncak acara kirab bekakak yang juga menyajikan barisan bregada, kereta kuda, hingga ogoh-ogoh raksasa.
Baca juga: Sejarah Keraton Yogyakarta
Tak hanya meriah, namun digelarnya tradisi ini setiap tahun ternyata memiliki makna tersendiri.
Hal Ini pula yang menjadi alasan Saparan Bekakak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015.
Dilansir dari laman bpad.jogjaprov.go.id dan mediacenter.slemankab.go.id, sejarah upacara adat Saparan Bekakak sangat terkait dengan keberadaan Gunung Gamping dan pembangunan Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Hal ini bermula saat pembangunan Keraton Yogyakarta berlangsung, di mana para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang.
Salah satu abdi dalem tersebut adalah Ki Wirasuta yang membawa payung kebesaran setiap Ngarsa Dalem berada.
Ketika terjadi perpindahan keraton dari Ambarketawang, Ki Wirasuta dan keluarganya kemudian justru memilih tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping.
Sehingga kemudian Ki Wirasuta dan keluarganya dianggap sebagai cikal bakal penduduk di Gunung Gamping.
Sayangnya pada bulan purnama antara tanggal 10 dan 15, tepatnya pada hari Jumat terjadi sebuah musibah yaitu longsornya Gunung Gamping.
Ki Wirasuta dan keluarganya yang tinggal di lokasi tersebut tertimpa longsoran dan dinyatakan hilang karena jasadnya tidak ditemukan.