YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Sepeda motor milik Kompas.com, harus melalui jalan setapak bercor blok di tengah bebatuan besar, untuk sampai ke gang menuju rumah Tupan, di Padukuhan Suru RT 004 RW 007, Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul, DI Yogyakarta.
Tupan merupakan salah satu warga yang tinggal di atas perbukitan. Diketahui perbukitan tersebut hanya ditinggali dua keluarga saja.
Setelah sampai gang yang dituju, sepeda motor kami pun harus diparkirkan. Pasalnya jalan yang harus dilalui selanjutnya menanjak dan terjal sehingga sulit dilalui sepeda motor. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Selain menanjak, jalan yang kami lalui banyak tertutup dedaunan. Setelah 15 hingga 20 menit berjalan kaki, kami tiba di permukiman Padukuhan Suru. Saat memasuki Padukuhan Suru, kami disuguhi pemandangan sejumlah rumah kosong.
Setelah berjalan sekitar 150 meter, di sisi kiri ada dua rumah milik Winarno dan tujuh orang keluarganya. Saat Kompas.com datang, hanya ada istri Winarno yakni Sugiyanti beserta dua cucu dan anak, serta menantunya.
Baca juga: Kisah Dua Keluarga Tersisa di Atas Perbukitan Gunungkidul, Dihantui Serangan Monyet
Sambil menggendong cucunya, Sugiyanti mengantarkan kami ke rumah Tupan. Kami menyusuri tanjakan terjal dan sepi. Sesekali terdengar suara burung dan hewan liar lainnya.
Sugiyanti mengungkapkan bahwa kawasan ini dulu cukup ramai. Dia mengatakan puluhan kepala keluarga (KK) sempat bermukin di wilayah tersebut.
"Dulu di sini ada banyak rumah, total ada 22 KK. Sekarang tinggal kami dan Tupan. Lainnya sudah pindah," kata Sugiyanti bercerita sambil menyuapi cucunya, Senin (28/8/2023).
Istri Tupan, adik dari suaminya, saat ini menjabat Ketua RT untuk dua keluarga yang tinggal di perbukitan tersebut. Setelah berjalan sekitar 15 menit, akhirnya sampai di sebuah rumah limasan dengan dinding kayu, bambu dan seng.
Selain itu tampak kandang sapi berukuran besar. Sapi di dalam kandang tersebut milik orang lain yang dititipkan ke Tupan untuk diperlihara. Sugiyanti memanggil nama Tupan, namun tidak ada jawaban. Dia pun melanjutkan ceritanya tentang tempat tinggalnya tersebut.
Sugiyanti mengaku tak mudah untuk hidup di atas perbukitan tersebut. Untuk menikmati listrik, dia harus memasang meteran di bawah perbukitan dan menarik kabel hingga hampir 1 km.
Sementara untuk air bersih, dirinya menggunakan sumur dari bawah dan dipompa ke atas. Air itu, cukup untuk dikonsumsi delapan orang keluarganya. Sebelumnya ada sembilan orang, dan baru sepekan ibunya yang berusia 115 tahun meninggal dunia.
Belum lagi ancaman monyet ekor panjang yang beberapa hari sekali menyambangi rumah dan ladang.
"Sekarang di sini parah, monyet ekor panjang itu sampai ke rumah. Selain tanaman, mereka juga masuk ke rumah," kata Sugiyanti.
Meski hidup serba terbatas dan penuh kesulitan, Sugianti mengaku tak ada pilihan selain bertahan. Pasalnya untuk pindah dari atas bukit butuh biaya tidak sedikit.