Salin Artikel

Menengok Kampung di Atas Bukit yang Hanya Dihuni Dua Keluarga, Sejumlah Rumah Kosong dan Serba Terbatas

Tupan merupakan salah satu warga yang tinggal di atas perbukitan. Diketahui perbukitan tersebut hanya ditinggali dua keluarga saja. 

Setelah sampai gang yang dituju, sepeda motor kami pun harus diparkirkan. Pasalnya jalan yang harus dilalui selanjutnya menanjak dan terjal sehingga sulit dilalui sepeda motor. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. 

Selain menanjak, jalan yang kami lalui banyak tertutup dedaunan. Setelah 15 hingga 20 menit berjalan kaki, kami tiba di permukiman Padukuhan Suru. Saat memasuki Padukuhan Suru, kami disuguhi pemandangan sejumlah rumah kosong. 

Setelah berjalan sekitar 150 meter, di sisi kiri ada dua rumah milik Winarno dan tujuh orang keluarganya. Saat Kompas.com datang, hanya ada istri Winarno yakni Sugiyanti beserta dua cucu dan anak, serta menantunya.

Sambil menggendong cucunya, Sugiyanti mengantarkan kami ke rumah Tupan. Kami menyusuri tanjakan terjal dan sepi. Sesekali terdengar suara burung dan hewan liar lainnya. 

Sugiyanti mengungkapkan bahwa kawasan ini dulu cukup ramai. Dia mengatakan puluhan kepala keluarga (KK) sempat bermukin di wilayah tersebut.

"Dulu di sini ada banyak rumah, total ada 22 KK. Sekarang tinggal kami dan Tupan. Lainnya sudah pindah," kata Sugiyanti bercerita sambil menyuapi cucunya, Senin (28/8/2023).

Istri Tupan, adik dari suaminya, saat ini menjabat Ketua RT untuk dua keluarga yang tinggal di perbukitan tersebut. Setelah berjalan sekitar 15 menit, akhirnya sampai di sebuah rumah limasan dengan dinding kayu, bambu dan seng. 

Selain itu tampak kandang sapi berukuran besar. Sapi di dalam kandang tersebut milik orang lain yang dititipkan ke Tupan untuk diperlihara. Sugiyanti memanggil nama Tupan, namun tidak ada jawaban. Dia pun melanjutkan ceritanya tentang tempat tinggalnya tersebut.

Tak ada pilihan selain bertahan

Sugiyanti mengaku tak mudah untuk hidup di atas perbukitan tersebut. Untuk menikmati listrik, dia harus memasang meteran di bawah perbukitan dan menarik kabel hingga hampir 1 km.

Sementara untuk air bersih, dirinya menggunakan sumur dari bawah dan dipompa ke atas. Air itu, cukup untuk dikonsumsi delapan orang keluarganya. Sebelumnya ada sembilan orang, dan baru sepekan ibunya yang berusia 115 tahun meninggal dunia.

"Sekarang di sini parah, monyet ekor panjang itu sampai ke rumah. Selain tanaman, mereka juga masuk ke rumah," kata Sugiyanti.

Meski hidup serba terbatas dan penuh kesulitan, Sugianti mengaku tak ada pilihan selain bertahan. Pasalnya untuk pindah dari atas bukit butuh biaya tidak sedikit. 

Dia mengaku sudah ada lahan untuk dibangun rumah berada di dataran rendah. Namun, keterbatasan biaya menyebabkan mereka belum bisa pindah dalam waktu dekat.

"Di sini sekarang susah, tapi mau bagaimana mau pindah tidak ada biaya. Suami saya bekerja serabutan, termasuk anak saya," kata dia.

Tak lama kemudian Tupan datang dari samping rumah. Dirinya tidak melewati jalan di depan rumah, namun dari belakang yang jalurnya lebih curam. Memang di samping kanan, kiri, dan belakang sudah jurang.

Rumah warisan mertua ini sudah ditinggali sejak puluhan tahun lalu. Mertuanya yang bernama Markiyem hilang tanpa jejak pada tahun 2019 lalu. Padahal pencarian oleh tim penyelamat dilakukan selama beberapa hari, namun hingga kini jejaknya tidak ditemukan sama sekali.

Di depan rumahnya ada ada pipa air yang dipasang dari puncak bukit. Dia menghabiskan 90-an pipa paralon ukuran 3 meter, dari sumber air ke rumahnya.

Saat musim kemarau seperti saat ini, terlihat air yang mengalir cukup kecil. Kemudian ditampung dalam bak terbuat dari batu putih. Jika airnya tidak keluar berarti ada pipa yang bocor. Biasanya dilubangi oleh hewan liar seperti tupai.

Tupan pun harus menyusuri perbukitan untuk mencari lokasi kebocoran itu dan menambalnya.

"Dulu air itu dipakai tiga keluarga, sekarang saya sendiri. Lainnya sudah pindah semua," kata dia.

Berada di perbukitan membuat dirinya sulit mencari nafkah. Namun tak mudah bagi Tupan untuk pergi merantau. Pasalnya sang istri takut dengan hewan liar jika harus di rumah sendirian.

Tupan pun hanya mengandalkan pekerjaan serabutan yang didapatkan dari warga sekitar. Seperti saat berbincang, ada telepon masuk dari ponselnya mengajak membantu memotong pohon jati.

Saat tidak ada yang memakai jasanya, dia hanya mencari rumput untuk kambingnya dan sapi milik orang lain yang dipeliharanya.

"Kalau malam, istri saya tidak berani di rumah sendiri. Harus ada di rumah, takut ada monyet atau macan," kata Tupan.

Menurut kepercayaan warga sekitar, ada macan yang masih berkeliaran. Namun dia mengaku belum pernah melihatnya. Meski tak pernah melihat macan, Tupan harus berkonflik dengan monyet ekor panjang hampir setiap hari.

Dicarikan Solusi

Tupan mengatakan tabungan miliknya sudah habis untuk membeli tanah di dataran rendah. meskil harga tanahnya itu jauh di bawah pasaran tapi baginya masih cukup besar.

Dia pernah ditawari bantuan Rp 10 juta agar pindah oleh pihak Kalurahan. Namun dirinya belum mampu mencari tambahan anggaran untuk membangun rumah. 

"Saat ini saya tinggal bersama istri dan seorang anak yang masih sekolah. Dua anak saya sudah menikah tinggal di bawah," kata dia.

Pemilik tanah yang dibeli Tupan, Warno Suwito mengaku kasihan dengan keluarga yang masih tinggal di atas bukit. Dia pun merelakan tanahnya dibeli Tupan dengan harga di bawah pasaran. 

"Saya kasihan, belinya pun tidak sesuai harga. Tapi tidak apa-apa," kata Warno.

Lurah Kampung, Suparna membenarkan masih ada dua rumah di atas bukit. Dia mengatakan yang terakhir pindah ada dua kepala keluarga pada tahun 2020 lalu.

Dikatakannya, Tupan sebenarnya sudah memiliki lahan di dataran yang lebih rendah. Dia membeli dari warga dengan harga jauh dibawah dari harga pasaran.

"Mereka warga kurang mampu. Sementara kemampuan dana desa memberikan bantuan hanya Rp 10 juta, dan itu tidak cukup untuk membangun rumah. Beliau tidak mau karena tidak cukup membangun rumah," kata Suparna.

Suparna sebenarnya kasihan kepada warganya itu, karena tergolong tidak mampu. Apalagi saat ini muncul serangan monyet ekor panjang.

"Monyet ekor panjang yang saat ini menyerang kasihan sekali," kata dia.

Diceritakan Suparna, pada tahun 2019 lalu, orang tua Tupan yakni Mbah Markiyem hilang. Sampai saat ini tidak ditemukan, meski saat itu puluhan relawan sudah dikerahkan.

Saat ini pihaknya tengah berkomunikasi dengan Pemerintah DIY untuk mencari solusi terkait dua warga tersebut. 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/08/29/150400578/menengok-kampung-di-atas-bukit-yang-hanya-dihuni-dua-keluarga-sejumlah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke