KOMPAS.com - Kasultanan Yogyakarta pernah mengalami masa kelam akibat sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Geger Sepehi.
Hal ini seperti tercantum dalam Prasasti Geger Sepoy yang didirikan di Kampung Ketelan Wijilan, Jokteng Lor Wetan Yogyakarta bertanggal 10 November 2000.
Baca juga: Lokasi Penemuan Kerangka Manusia di Kecamatan Keraton Yogyakarta Ternyata Area Perang Sepehi
Pada prasasti berpagar hijau tersebut terdapat tulisan yang berbunyi, “Reruntuhan ini adalah sisa-sisa Bastion Benteng Kraton Ngayogyakarta, hancur diserang tentara Inggris tahun 1812 pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Sepei”.
Geger Sepehi atau Geger Sepoy adalah peristiwa penyerbuan Keraton Yogyakarta oleh pasukan Inggris yang terdiri dari tentara Eropa dan pasukan Sepoy (India), dibantu pasukan dari Legiun Mangkunegaran pada tahun 1812.
Baca juga: Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru, Beringin Pusaka Keraton Yogyakarta di Tengah Alun-alun Utara
Istilah geger berasal dari bahasa Jawa yang berarti heboh atau ramai. Sementara istilah sepehi (spei) adalah penyebutan masyarakat Jawa kepada Brigade Sepoy, yaitu yang direkrut dari warga India yang sudah terlebih dahulu dijajah oleh Inggris.
Dilansir dari laman kratonjogja.id, Geger Sepehi terjadi pasca wilayah Jawa yang sebelumnya dikuasai Belanda akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Baca juga: Benteng Baluwerti, Saksi Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta
Perpindahan kekuasaan ini mengakibatkan Pulau Jawa kemudian menjadi bagian dari koloni Inggris yang berpusat di Kalkuta yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Inggris di Kalkuta, Lord Minto.
Lord Minto kemudian menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur yang berkedudukan di Jawa.
Raffles kemudian segera membuat kebijakan-kebijakan baru dan pada bulan November 1811, dengan menunjuk John Crawfurd sebagai Residen Yogyakarta.
Di sisi lain, momen tersebut dimanfaatkan Sri Sultan Hamengku Buwono II yang kerap disebut sebagai Sultan Sepuh untuk mengambil alih kembali kekuasaan Kasultanan Yogyakarta yang semula berada di bawah tekanan Belanda.
Hal Ini karena pada saat Belanda menguasai Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono II menentang aturan-aturan yang diterapkan oleh Daendels yang membuatnya dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan pada putra mahkota.
Nyatanya, kebijakan Raffles terkait pertanahan dan pengelolaan keuangan tidak jauh berbeda dengan kebijakan Daendels. Hal ini membuat Sri Sultan Hamengku Buwono II tidak berkenan dan menunjukkan sikap menentang, bahkan ia menghimpun kekuatan secara terang-terangan.
Raffles yang menganggapnya sebagai ancaman kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan Colonel Robert Rollo Gillespie untuk menyerang Yogyakarta.
Sementara dilansir dari laman kebudayaan.jogjakota.go.id, Raffles yang hendak menguasai sepenuhnya Pulau Jawa mendapat hambatan dari Sultan Hamengkubuwono II yang bersekutu dengan Sunan Pakubuwono IV dan mengutus John Crawfurd dan Pangeran Notokusumo untuk berdiplomasi.
Sayangnya Jalan diplomasi tersebut tidak menemukan titik terang sehingga berakhir dengan mempersiapkan pasukan sebagai upaya penaklukan Kasultanan Yogyakarta.