KOMPAS.com - Kompleks Keraton Yogyakarta dengan arsitektur Jawa yang kental terdiri dari beberapa ruang terbuka dan bangunan, salah satunya adalah Bangsal Srimanganti.
Keraton Yogyakarta didirikan Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada tahun 1775 dengan luas 14.000 meter persegi.
Proses pembangunan berlangsung hingga hampir satu tahun, hingga pada tanggal 7 Oktober 1756 Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya memasuki Keraton Yogyakarta.
Baca juga: Siti Hinggil, Tempat Singgasana Sultan di Keraton Yogyakarta
Dilansir dari laman jogjacagar.jogjaprov.go.id, Bangsal Srimanganti merupakan salah satu komponen kelengkapan dari Kraton Yogyakarta yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Letak Bangsal Srimanganti berada di Kompleks Srimanganti, atau di sebelah selatan kompleks Kemandungan dan dihubungkan oleh Regol Srimanganti.
Bangsal Srimanganti berfungsi sebagai persinggahan Sultan pada saat akan kembali ke Kedhaton, di mana Sultan akan dihaturkan minuman dan dijemput oleh permaisuri dan putra-putra sultan.
Baca juga: Kisah Abdi Dalem Mertolulut, Algojo Keraton Yogyakarta yang Melakukan Eksekusi Atas Perintah Raja
Menurut K.P.H. Brongtodiningrat, Bangsal Srimanganti menggambarkan saat manusia akan menginjak alam barzah.
Persinggahan di Bangsal Srimanganti untuk minum dan istirahat mengingatkan bahwa kehidupan manusia di dunia ibarat ‘mampir ngombe’ (mampir minum).
Baca juga: Mengenal Abdi Dalem Keraton Yogyakarta: Tugas, Pangkat, Pengangkatan, hingga Pemberhentian
Bangsal Srimanganti semula berfungsi sebagai bangsal umum, sampai pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V bangsal ini difungsikan sebagai tempat menerima tamu yang sekaligus sebagai tempat pertunjukan tari-tarian.
Setelah itu, tempat menerima tamu berpindah ke Bangsal Kencana (untuk tamu agung).
Pada saat keraton mempunyai hajat besar, bangsal ini digunakan untuk tempat bagi para bangsawan dan kerabat kerajaan.
Bangunan selasar beratap di sisi timur Bangsal Srimanganti pada awalnya berupa tratag beratap anyaman bambu, yang mana bentuk ini disebut Pantiwarsa.
Bangunan ini kemudian dipugar oleh Sultan Hamengku Buwana VIII dengan mengganti atap anyaman bambu menjadi seng gelombang dan lantai tegel bermotif, kemudian berganti nama menjadi Pantiwarda.
Fungsi bangunan ini sebagai pelindung aksesibilitas antara Regol Srimanganti dengan Kori/ Regol Danapratapa.
Sekarang di lokasi ini menjadi tempat beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan dan difungsikan untuk penyelenggaraan event pariwisata di lingkungan keraton.