“Kita akan gali dengan tidak meninggalkan yang sudah ada, kita akan gali potensi yang lain untuk kita bisa up lift-kan. Jadi kita tidak akan tabu, seandainya kita menemukan satu seni budaya yang memang harus kita angkat,” kata Agung.
Di balik angka 7.400 itu, tersembunyi semangat, kerja keras, dan kebanggaan dari ribuan jiwa yang menari bukan hanya dengan tubuh, tapi juga hati.
Semua penari merupakan pelajar dari 10 sekolah tingkat menengah pertama dan menengah atas atau kejuruan di Kulon Progo.
Masing-masing sekolah mengirimkan 100-300 siswa untuk terjun ke ajang ini. Mereka berpakaian hitam dan celana panjang hitam.
Baca juga: Dua Pelajar di Kulon Progo Kehilangan Ponsel, Orangtua Kirim Pesan Khusus untuk Pelaku via Facebook
Sebagian lagi, pelajar yang mengenakan kostum tari wanara.
Di antara ribuan penari, Nur Aini dan Putri Nermada, dua siswi SMA di Kulon Progo, tampak masih bersemangat meski peluh belum kering.
Bagi mereka, ikut serta dalam tari massal ini bukan hanya soal tampil, tetapi juga kesempatan langka.
“Antusias banget! Soalnya ini pertama kalinya saya ikut acara sebesar ini,” ujar Putri sambil tersenyum.
Namun, proses menuju panggung tak selalu mulus. Keterbatasan waktu latihan di sekolah membuat mereka harus belajar mandiri.
Baca juga: Jelang HUT ke-74 Kulon Progo, Bupati dan Jajaran Ziarah ke Makam Raja dan Mantan Bupati
Waktu yang tidak banyak, di tengah kesibukan belajar. Karenanya, ada saat mereka latihan sendiri di rumah lewat tutorial yang ada di YouTube.
Selain gerakan, mereka juga harus menyiapkan kostum sendiri.
“Kostumnya punya sendiri, sebagian besar bawa sendiri. Tidak ada keluar uang juga,” ujar Putri.
Meski begitu, keduanya sepakat: semua lelah, waktu, dan biaya terbayar lunas saat bisa menari bersama ribuan teman sebaya dan mencetak sejarah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang