“Ternyata susah juga! Anak-anak sini bisa karena mereka tumbuh dengan angin, dengan layangan,” lanjutnya.
Termasuk pula produk unggulan lokal berupa Wingko Boro, kue berbahan kelapa yang diluncurkan berbarengan dengan pembukaan Biennale.
"Kami sekaligus meluncurkan Wingko Boro yang akan menjadi produk khas dan identitas Boro 2," ungkap Andi.
Direktur Biennale Jogja XVIII, Alia Swastika, menyebut Boro II sebagai babak awal dari rangkaian Biennale yang akan berlanjut ke Kota Yogyakarta, Desa Panggungharjo, Bangunjiwo, dan Tirtonirmolo pada Oktober–November 2025.
“Kami menempatkan desa bukan hanya sebagai tempat, tapi sebagai semangat hidup. Desa sebagai sumber pengetahuan, budaya, dan semangat hidup berdaya,” kata Alia.
Menurut Alia, meskipun desa memiliki kekuatan ekonomi sirkular dan budaya lokal yang kaya, warga sering kali kehilangan rasa percaya diri terhadap kekayaan itu.
“Padahal sebenarnya setiap masyarakat itu punya pengetahuan, punya modal, punya budaya yang menarik. Tapi karena tidak pernah dimunculkan, jadi kebudayaan itu hilang,” jelasnya.
Ia memberi contoh ibu-ibu yang sebelumnya tidak menari, namun setelah terlibat dalam proses Biennale, akhirnya ikut menari bersama seniman.
“Kami mengajak seniman kontemporer bekerja dalam konteks desa. Ini tentang menumbuhkan kembali rasa percaya warga pada sejarah, budaya, dan pengetahuan mereka sendiri,” tegasnya.
Biennale kali ini menjadi perayaan kolaboratif antara seniman dan masyarakat desa. Karya seni tak lagi harus dipamerkan di galeri formal, tetapi bisa hidup berdampingan dengan aktivitas harian warga.
Lewat seni yang membumi dan material lokal yang sederhana, desa tampil sebagai panggung utama. Boro II kini bukan sekadar dusun kecil, melainkan menjadi simbol kebangkitan identitas, budaya, dan pengetahuan lokal.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang