KULON PROGO, KOMPAS.com – Suasana berbeda terasa di Padukuhan Boro II, Kalurahan Karangsewu, Kapanewon Galur, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kampung kecil di pesisir selatan DIY ini mendadak ramai dipenuhi instalasi seni monumental sebagai bagian dari pembukaan Biennale Jogja XVIII 2025.
Perhelatan seni bertajuk "Kawruh Tanah Lelaku" ini diawali dengan Merti Dusun yang dilanjutkan dengan kirab "Pajal Ulihan", serta berbagai pertunjukan seni tradisional dan budaya lokal seperti musik khadroh dan penampilan anak-anak desa.
Karya Instalasi Tersebar di Seluruh Dusun
Warga dan pengunjung disambut oleh berbagai karya seni kontemporer yang tersebar di sudut-sudut kampung.
Mulai dari instalasi tikar dari plastik bekas, layang-layang merah di sekitar batu-batu intuitif, hingga papan tulis hitam berisi sketsa gagasan di tengah sawah.
Tak jauh dari lokasi, terdapat orang-orangan sawah berbaju putih, wayang-wayangan anak dan wayang cumplung—batok kelapa yang diubah menjadi kepala wayang golek, disusun dengan tubuh dari serat bambu.
Yang paling menarik perhatian, hadir instalasi satwa kebon: seekor burung cekakak raksasa dengan bulu dari kulit jagung dan tulang dari bonggol jagung.
Sosok ini berdiri megah di atas tonggak, menghadirkan keunikan seni berbasis material lokal.
Sementara di tepi jalan desa, berdiri 20 totem monumental setinggi hingga 3 meter.
Dibuat dari dahan kelapa kering, sabut, dan ranting, karya kolektif seniman senior Kulon Progo ini tampak seperti penanda perbatasan khas Kalimantan.
"Semua totem bukan cuma instalasi biasa. Tugu-tugu mengarahkan warga menuju arena perhelatan Biennale," tulis Dani.
Kolaborasi Seniman dan Warga Bangkitkan Pengetahuan Lokal
Dukuh Boro II, Greg Andi Sindana, menyampaikan bahwa sekitar 30 karya seni yang hadir di dusunnya merupakan hasil kolaborasi antara seniman dan warga.
"Seniman-seniman itu datang, riset, ngobrol dengan warga saya. Karya-karya mereka bukan hanya dipasang, tapi menjadi cermin — bahkan jembatan — bagi warga untuk menemukan kembali pengetahuan-pengetahuan lokal yang kadang terlupakan,” ujar Andi.
Boro II adalah kampung agraris yang tenang. Namun kehadiran Biennale telah menggugah potensi tersembunyi. Seperti layang-layang hasil karya anak desa, yang justru menginspirasi seniman dari Jakarta.
“Ternyata susah juga! Anak-anak sini bisa karena mereka tumbuh dengan angin, dengan layangan,” lanjutnya.
Termasuk pula produk unggulan lokal berupa Wingko Boro, kue berbahan kelapa yang diluncurkan berbarengan dengan pembukaan Biennale.
"Kami sekaligus meluncurkan Wingko Boro yang akan menjadi produk khas dan identitas Boro 2," ungkap Andi.
Desa Jadi Sumber Pengetahuan dan Ruang Karya
Direktur Biennale Jogja XVIII, Alia Swastika, menyebut Boro II sebagai babak awal dari rangkaian Biennale yang akan berlanjut ke Kota Yogyakarta, Desa Panggungharjo, Bangunjiwo, dan Tirtonirmolo pada Oktober–November 2025.
“Kami menempatkan desa bukan hanya sebagai tempat, tapi sebagai semangat hidup. Desa sebagai sumber pengetahuan, budaya, dan semangat hidup berdaya,” kata Alia.
Menurut Alia, meskipun desa memiliki kekuatan ekonomi sirkular dan budaya lokal yang kaya, warga sering kali kehilangan rasa percaya diri terhadap kekayaan itu.
“Padahal sebenarnya setiap masyarakat itu punya pengetahuan, punya modal, punya budaya yang menarik. Tapi karena tidak pernah dimunculkan, jadi kebudayaan itu hilang,” jelasnya.
Ia memberi contoh ibu-ibu yang sebelumnya tidak menari, namun setelah terlibat dalam proses Biennale, akhirnya ikut menari bersama seniman.
“Kami mengajak seniman kontemporer bekerja dalam konteks desa. Ini tentang menumbuhkan kembali rasa percaya warga pada sejarah, budaya, dan pengetahuan mereka sendiri,” tegasnya.
Biennale kali ini menjadi perayaan kolaboratif antara seniman dan masyarakat desa. Karya seni tak lagi harus dipamerkan di galeri formal, tetapi bisa hidup berdampingan dengan aktivitas harian warga.
Lewat seni yang membumi dan material lokal yang sederhana, desa tampil sebagai panggung utama. Boro II kini bukan sekadar dusun kecil, melainkan menjadi simbol kebangkitan identitas, budaya, dan pengetahuan lokal.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/09/22/142638678/30-instalasi-seni-monumental-ramaikan-desa-di-kulon-progo-dalam-biennale