Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alas Mentaok, Hutan yang Menjadi Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Kompas.com, 29 September 2024, 22:43 WIB
Puspasari Setyaningrum

Editor

KOMPAS.com - Sejarah Kerajaan Mataram Islam tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Alas Mentaok.

Kerajaan Mataram Islam yang pasca Perjanjian Giyanti (1755) harus terpecah menjadi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta ini berawal dari hutan belantara yang dibangun oleh Ki Ageng Pemanahan.

Baca juga: Makam Raja-Raja Mataram di Kotagede: Sejarah dan Daftar Nama Raja yang Dimakamkan

Pada awalnya, Alas Mentaok merupakan hadiah dari sayembara yang dibuat oleh raja kerajaan Pajang yaitu Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir.

Saat itu, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara bahwa siapa pun yang bisa membunuh Arya Penangsang akan dihadiahi sebuah “tanah perdikan”.

Baca juga: Pasar Legi Kotagede, Pasar Tradisional Tertua di Kota Yogyakarta

Pada akhirnya, hadiah itu diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, setelah putranya yaitu Danang Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang.

Saat diberikan, Alas Mentaok masih berupa hutan belantara sehingga diperlukan upaya membuka lahan atau babat alas untuk membangunnya.

Nama hutan belantara ini kemudian diambil dari salah satu nama pohon yang tumbuh di sana, yaitu pohon mentaok.

Baca juga: Sejarah Kotagede, Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam yang Pertama

Lokasi Alas Mentaok

Hingga saat ini, salah satu pertanyaan yang banyak dilontarkan adalah di mana sebenarnya lokasi Alas Mentaok yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam.

Dalam penelitian Anis Lestari, mahasiswa Diploma III Pengelolaan Hutan, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, dijelaskan lokasi yang pada masa lalu diperkirakan merupakan Alas Mentaok.

Alas Mentaok pada masa lalu diperkirakan membentang dari timur laut hingga tenggara Kota Yogyakarta, yaitu mulai dari wilayah Purwomartani di Kabupaten Sleman, Banguntapan di Kabupaten Bantul, hingga ke wilayah Kotagede di Kota Yogyakarta.

Pernah Diramal Akan Menjadi Kota Besar

Alas Mentaok yang awalnya merupakan hutan belantara ini ternyata sebelumnya pernah diramal akan menjadi sebuah kota besar.

Hal ini seperti dipaparkan sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, almarhum G Moedjanto dalam bukunya Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, terbitan Kanisius, Yogyakarta (1994).

Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa ada Ramalan Sunan Giri yang menyebut bahwa Alas Mentaok kelak akan berkembang menjadi kota besar.

Hal ini kemudian yang membuat Sultan Hadiwijaya sempat ragu untuk memberikan tanah tersebut kepada Ki Ageng Pemanahan.

Dan benar saja, Alas Mentaok yang awalnya berupa hutan belantara perlahan-lahan berkembang menjadi sebuah kerajaan yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat perekonomian.

Gapura makam raja-raja Mataram Islam di Kotagede.Dok. Dinas Kebudayaan DIY Gapura makam raja-raja Mataram Islam di Kotagede.

Sejarah Pembangunan Alas Mentaok

Pada awalnya, Ki Ageng Pemanahan bersama keluarga dan pengikutnya pindah dan membangun sebuah desa kecil di hutan tersebut.

Pada saat itu, status wilayah Alas Mentaok yang ada di bawah kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan masih sebuah kadipaten di Kerajaan Pajang.

Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat, Pangeran Benowo memberikan hak kepada Sutawijaya untuk melepaskan diri dari Kerajaan Pajang dan mendirikan kerajaannya sendiri.

Pada Akhir abad ke-16, Alas Mentaok yang sudah dijadikan pemukiman oleh Ki Ageng Pemanahan berkembang menjadi daerah yang makmur dan kemudian diberi nama Mataram.

Sementara, pusat kekuasaan yang baru kemudian dikenal dengan nama Kotagede.

Sepeninggal sang ayah, Danang Sutawijaya kemudian melanjutkan kepemimpinannya dan mengangkat dirinya menjadi sultan pertama Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Panembahan Senopati.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam pun semakin lama semakin luas, melebihi luas Alas Mentaok yang dibangun Ki Ageng Pemanahan.

Sumber:
humas.jatengprov.go.id 
budaya.jogjaprov.go.id
makamkotagede.bantulkab.go.id 
perpusda.bantulkab.go.id  
antaranews.com  
etd.repository.ugm.ac.id  
travel.kompas.com 

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Yogyakarta
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau