Kelelawar bersembunyi di sana. Warga tidak bisa melihat posisi kelelawar yang ada di tebing atas.
"Mata biasa, tanpa alat, tidak bisa melihat gerombolan kelelawar. Karena begitu tingginya," kata Mulyanto.
Asap membumbung dalam lorong ke atas. Kelelawar jatuh bila kena asap. Warga mengumpulkan kelelawar yang jatuh ke dalam karung.
Baca juga: Ilmuwan yang Kumpulkan Sampel Sars di Sebuah Goa Mengaku Digigit Kelelawar yang Terinfeksi
Kelelawar itu dimanfaatkan daging maupun jeroannya. Warga mengonsumsinya dengan cara dimasak atau diawetkan dengan cara dijemur hingga menjadi kering. Pada masa lalu, kelelawar garing bisa dikonsumsi kapan saja.
"Fermentasi itu bisa tahan berbulan-bulan," kata Mulyanto.
Warga juga memanfaatkan untuk obat. Konon katanya, hati dan jeroan codot mujarab bagi penderita asma.
Mulyanto menceritakan, semua warga satu kampung terjun ikut berburu pada masa lalu. Perjalanan waktu, warga yang menyukai aktivitas ini mulai menyusut.
Hal itu karena medan sulit dan memerlukan nyali besar untuk ikut berburu. Selain itu kawasan ini potensial longsor, ekonomi masyarakat juga lebih baik sehingga tidak perlu sulit mencari asupan hewani. Sementara, sebagian warga semakin melek ajaran agama soal apa yang boleh dan tidak boleh dimakan.
Beberapa warga masih mempertahankan tradisi ini, setidaknya 20-40 orang.
Baca juga: Usut Asal Covid-19, Wanita kelelawar China Bersedia Diperiksa WHO
Warga tidak mengemas tradisi dengan acara hingar bingar dan diketahui publik. Mereka menjaga agar tradisi tetap terjaga, terlaksana, tanpa menimbulkan antipati banyak pihak.
Musim kemarau selalu dinanti sebagai saat berburu. Ditandai ramainya cuitan kelelawar dalam curug yang terdengar dari atas.
"Kalau ada suara banyak berarti ada. Citcitcuit. Kalau terdengar dari luar, itu menandakan populasi. Kita langsung (dadakan) turun," kata Roji.
Pada masa kemarau tahun 2023 ini, warga sudah satu kali berburu. Perburuan bisa dilakukan lagi beberapa bulan ke depan bila kemarau masih panjang.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kulon Progo, Rina Nuryati menyatakan, beberapa studi mengungkap bahwa kelelawar merupakan rumah bagi virus maupun bakteri. Awal berkembang Covid-19 satu contoh di mana satwa ini berperan pada penyebaran penyakit.
Karena itu, makanan berupa daging kelelawar tidak direkomendasi sebagai bahan makanan bagi warga.
Baca juga: Ditemukan Virus Corona pada Kelelawar yang Ditangkap pada 2010 di Kamboja