Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampung Pemburu Kelelawar di Kulon Progo, Berburu Hanya Saat Musim Kemarau

Kompas.com, 14 Agustus 2023, 16:08 WIB
Dani Julius Zebua,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

Warga hidup hanya dari bertani padi di sawah. Karenanya, untuk memenuhi asupan itu warga berburu kelelawar yang berkumpul di curug. Kelelawar di sana jenis codot, berukuran besar dan menyukai sari buah.

Tidak setiap saat mereka bisa masuk curug. Waktu berburu ditandai dengan curug yang kering pada musim kemarau.

Pekerja di kantor Kalurahan Sidoharjo ini ikut berburu kelelawar sejak 1994 atau umur 13-14 tahun. Awalnya, ia belajar turun ke curug lewat tebing pakai tali ukuran besar dari bahan serat bambu. Kira-kira panjang tali yang dituruni bisa empat kali panjangnya bambu.

"Sekitar seratusan meter," katanya.

Sampai sekarang, Roji masih sesekali terjun ikut berburu karena menikmati batinnya yang bersatu dengan alam. Tidak seorang diri, masuk ke situ sebaiknya didatangi beramai-ramai karena sepi, aura mistik, dan medan ekstrem.

"Bahkan bersama teman, masih ada rasa ragu. Tapi, rasa suka pada alam menguatkan tekad," kata Roji. "Kita seperti masuk ke alam yang berbeda," lanjut dia.

Baca juga: Ledakan di Rumah Grobogan, Polisi Sebut Penyebabnya Bahan Petasan untuk Mengusir Kelelawar

Dukuh (kepala dusun) Nglambur, Mulyanto menceritakan, berburu kelelawar berlangsung turun temurun sejak simbah dan orangtuanya dulu. Mulyanto sudah mengetahui aktivitas ini antara 1980-1990. Namun, ia baru berani ikut berburu pada 1990-an.

“Jadi tradisi kampung kami sudah 40 - 50-an tahun,” kata Mulyanto.

Tradisi ini masih terpelihara di antara warga. “Harus pada saat kemarau. Kalau tidak kemarau airnya berlimpah dan harus melewati dua aliran sungai kecil," kata Mulyanto.

Ketika itu, mata air benar-benar tidak mengalir. Air terjun yang tingginya ratusan meter seperti mati.

Tebing tinggi dan gelap lokasi curug kemudian jadi sarang kelelawar. Saatnya warga berburu.

Berburu tidak dengan panah, perangkap apalagi senapan. Mereka hanya mengasapi tebing curug yang menjulang dengan pembakaran sampah daun kering dan ranting, seperti blarak (daun kelapa) dan daun pisang.

Baca juga: Cari Kelelawar, Yus Temukan Kerangka di Dalam Goa, Diduga Milik Pria yang Hilang 10 Tahun Lalu

Sampah organik itu dikumpulkan dari kebun-kebun di kampung, diikat jadi satu, digotong bersama-sama, lalu dilemparkan ke dasar sungai yang berada ratusan meter di bawah.

Kemudian, warga masuk lewat bawah curug menuju lorong di bagian tengah. Di lorong itu tergeletak sampah yang tadi dilempar. Warga merapikan sampah organik kering pada tiap sudut tebing lalu membakarnya.

Mulyanto mengungkapkan, sampah yang dibakar harus organik. Pasalnya, pembakaran menciptakan asap yang banyak dan sampah tidak bersisa. Mereka membutuhkan lebih dari 10-15 ikat ranting atau sampah demi asap sampai ke tebing teratas yang jaraknya lebih 100 meter.

Halaman:


Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau