Warga hidup hanya dari bertani padi di sawah. Karenanya, untuk memenuhi asupan itu warga berburu kelelawar yang berkumpul di curug. Kelelawar di sana jenis codot, berukuran besar dan menyukai sari buah.
Tidak setiap saat mereka bisa masuk curug. Waktu berburu ditandai dengan curug yang kering pada musim kemarau.
Pekerja di kantor Kalurahan Sidoharjo ini ikut berburu kelelawar sejak 1994 atau umur 13-14 tahun. Awalnya, ia belajar turun ke curug lewat tebing pakai tali ukuran besar dari bahan serat bambu. Kira-kira panjang tali yang dituruni bisa empat kali panjangnya bambu.
"Sekitar seratusan meter," katanya.
Sampai sekarang, Roji masih sesekali terjun ikut berburu karena menikmati batinnya yang bersatu dengan alam. Tidak seorang diri, masuk ke situ sebaiknya didatangi beramai-ramai karena sepi, aura mistik, dan medan ekstrem.
"Bahkan bersama teman, masih ada rasa ragu. Tapi, rasa suka pada alam menguatkan tekad," kata Roji. "Kita seperti masuk ke alam yang berbeda," lanjut dia.
Baca juga: Ledakan di Rumah Grobogan, Polisi Sebut Penyebabnya Bahan Petasan untuk Mengusir Kelelawar
Dukuh (kepala dusun) Nglambur, Mulyanto menceritakan, berburu kelelawar berlangsung turun temurun sejak simbah dan orangtuanya dulu. Mulyanto sudah mengetahui aktivitas ini antara 1980-1990. Namun, ia baru berani ikut berburu pada 1990-an.
“Jadi tradisi kampung kami sudah 40 - 50-an tahun,” kata Mulyanto.
Tradisi ini masih terpelihara di antara warga. “Harus pada saat kemarau. Kalau tidak kemarau airnya berlimpah dan harus melewati dua aliran sungai kecil," kata Mulyanto.
Ketika itu, mata air benar-benar tidak mengalir. Air terjun yang tingginya ratusan meter seperti mati.
Tebing tinggi dan gelap lokasi curug kemudian jadi sarang kelelawar. Saatnya warga berburu.
Berburu tidak dengan panah, perangkap apalagi senapan. Mereka hanya mengasapi tebing curug yang menjulang dengan pembakaran sampah daun kering dan ranting, seperti blarak (daun kelapa) dan daun pisang.
Baca juga: Cari Kelelawar, Yus Temukan Kerangka di Dalam Goa, Diduga Milik Pria yang Hilang 10 Tahun Lalu
Sampah organik itu dikumpulkan dari kebun-kebun di kampung, diikat jadi satu, digotong bersama-sama, lalu dilemparkan ke dasar sungai yang berada ratusan meter di bawah.
Kemudian, warga masuk lewat bawah curug menuju lorong di bagian tengah. Di lorong itu tergeletak sampah yang tadi dilempar. Warga merapikan sampah organik kering pada tiap sudut tebing lalu membakarnya.
Mulyanto mengungkapkan, sampah yang dibakar harus organik. Pasalnya, pembakaran menciptakan asap yang banyak dan sampah tidak bersisa. Mereka membutuhkan lebih dari 10-15 ikat ranting atau sampah demi asap sampai ke tebing teratas yang jaraknya lebih 100 meter.